LANDASAN DAN
PEMIKIRAN TEKNOLOGI PEMBELAJARAN
1. Landasan
Filsafat dan Landasan Teoritik
A. Landasan
Filsafat
Berdasarkan tinjauan filsafat ilmu, setiap
pengetahuan mempunyai tiga komponen yang merupakan tiang penyangga tubuh
pengetahuan yang didukungnya, termasuk Teknologi Pembelajaran sebagai disiplin
ilmu. Ketiga tiang penyangga dimaksud yaitu landasan ontologi (apa), landasan
epitimologi (bagaimana) dan landasan aksiologi (siapa). Ontologi merupakan azas
dalam menetapkan ruang lingkup ujud yang menjadi objek penelaahan, serta
penafsiran tentang hakikat realitas dari objek tersebut. Epistemologi merupakan
azas mengenai cara bagaimana materi pengetahuan diperoleh dan disusun menjadi
suatu tubuh pengetahuan. Sedangkan aksiologi merupakan azas dalam menggunakan
pengetahuan yang telah diperoleh dan disusun dalam tubuh pengetahuan.
Dalam kaitannya dengan hal tersebut, maka yang
menjadi ruang lingkup objek penelaahan (azas ontologi) teknologi pembelajaran
sebagai suatu bidang ilmu adalah masalah “BELAJAR” pada manusia, karena :
belajar merupakan hak semua orang dan berlangsung sepanjang hayat, mengenai
apa, dari siapa, bagaimana saja belajar tersebut. Akan tetapi kesempatan
belajar yang ada masih terbatas, sumber tradisional juga semakin terbatas,
serta sumber yang ada dan potensial belum didayagunakan. Oleh karena itu, perlu
adanya usaha khusus untuk mewujudkan kesempatan belajar dengan mengoptimalkan
sumber dan potensial yang ada, perlu adanya pengelolaan yang inovatif, dan
reformatif tentang belajar pada manusia. Alasan lain, kenapa masalah belajar
menjadi objek formal kajian (azas ontologi) teknologi pembelajaran adalah tidak
lepas dari pemikiran tentang pendidikan itu sendiri. Dimana, agar pendidikan
dalam praktek terbebas dari keragu-raguan, maka objek formal ilmu pendidikan
dibatasi pada manusia seutuhnya di dalam fenomena atau situasi pendidikan.
Didalam situasi sosial manusia itu sering
berperilaku tidak utuh, hanya menjadi makhluk berperilaku individual dan/atau
makhluk sosial yang berperilaku kolektif. Hal itu boleh-boleh saja dan dapat
diterima terbatas pada ruang lingkup pendidikan makro yang berskala besar
mengingat adanya konteks sosio-budaya yang terstruktur oleh sistem nilai
tertentu. Akan tetapi pada latar mikro, sistem nilai harus terwujud dalam hubungan
inter dan antar pribadi yang menjadi syarat mutlak (conditio sine qua non) bagi
terlaksananya mendidik dan mengajar, yaitu kegiatan pendidikan yang berskala
mikro. Sedangkan Dasar epistemologis dari teknologi pembelajaran adalah
berangkat dari sebuah konsesi dasar filsafati bahwa dasar epistemologis
diperlukan oleh pendidikan atau pakar ilmu pendidikan demi mengembangkan
ilmunya secara produktif dan bertanggung jawab. Demikianpun dalam teknologi
pembelajaran sebagai bidang kajian (bidang ilmu). Dalam kaitan dengan ini,
pendekatan dalam menyusun dan membangun pengetahuan (azas pistemologis) yang
dikembangkan dalam teknologi pembelajaran memiliki ciri sebagai berikut:
(1) keseluruhan masalah belajar dan upaya
pemecahannya ditelaah secara simultan. Semua situasi yang ada diperhatikan dan
dikaji saling kaitannya, dan bukannya dikaji secara terpisah-pisah;
(2) unsur-unsur yang berkepentingan
diintegrasikan dalam suatu proses kompleks secara sistemik, yaitu dirancang,
dikembangkan, dinali dan dikelola sebagai suatu kesatuan dan ditujukan untuk
memecahkan masalah;
(3) penggabungan ke dalam proses yang kompleks
dan perhatian atas gejala secara menyeluruh, harus mengandung daya lipat atau
sinergisme, berbeda dengan hal di mana masing-masing fungsi berjalan sendiri-sendiri.
Kemudian, azas aksiologi teknologi pembelajaran
di sini berkenaan dengan kegunaan dan pemanfaatan pengetahuan yang telah
tersusun secara sistematis yang meliputi 5 kawasan teknologi pembelajaran.
Dalam kaitannya dengan hal ini, berikut kegunaan potensial teknologi
pembelajaran:
(1) meningkatkan produktifitas pendidikan
dengan jalan memperlaju penahapan belajar, membantu guru untuk menggunakan
waktunya secara lebih baik, dan mengurangi beban guru dalam menyajikan
informasi, sehingga guru dapat lebih banyak membina dan mengembangkan
kegairahan belaar anak;
(2) memberikan kemungkinan pendidikan yang
sifatnya lebih individual, dengan jalan mengurangi kontrol guru yang kaku dan
tradisional, memberikan kesempatan anak berkembang sesuai dengan kemampuannya;
(3) memberikan dasar pengajaran yang lebih
ilmiah, dengan jalan perencanaan program pengajaran yang lebih sistemik,
pengembangan bahan pengajaran yang dilandasi dengan penelitian tentang
perilaku;
(4) lebih memantapkan pengajaran, dengan jalan
meningkatkan kapasitas manusia dengan berbagai media komunikasi, penyajian
informasi dan data secara lebih kongkrit;
(5) memungkinkan belajar secara lebih akrab
karena dapat mengurangi jurang pemisah antara pelajaran di dalam dan di luar
sekolah, memberikan pengetahuan tangan pertama;
(6) memungkinkan penyajian pendidikan lebih
luas dan merata, terutama dengan jalan pemanfaatan bersama tenaga atau kejadian
yang langka secara lebih luas, penyajian informasi menembus batas geografi.
Disamping itu, manfaat lain yang dapat diambil
dengan adanya bidang teknologi pembelajaran ialah antara lain: Peningkatan mutu
pendidikan (menarik, efektif, efisien, relevan), penyempurnaan system
pendidikan, meluas dan meratanya kesempatan serta akses pendidikan, penyesuaian
dengan kondisi pembelajaran, penyelarasan dengan perkembangan lingkungan,
peningkatan partisipasi masyarakat dalam bidang pendidikan.
B. Landasan
Teoritis
1. Landasan
Teori dari Ilmu Perilaku
Lumsdaine menyatakan bahwa teori belajar
behavioristik memiliki andil besar dalam perkembangan teknologi pembelajaran.
Bahkan Deterline berpendapat bahwa teknolgi pembelajaran merupakan aplikasi
teknologi perilaku, yaitu untuk menghasilkan perilaku tertentu secara sistemik
guna keperluan pembelajaran. Selanjutnya, Saetler melalui stdi penelusurannya
terhadap sejarah perkembangan teknologi pembelajaran kemudian sampai kepada
kesimpulan bahwa pemikiran Thorndike dengan teori psikologi perkembangannya
yang beraliran behavioristik merupakan landasan pertama kearah teknologi
pembelajaran. Tiga hukum utama yang diajukan oleh thorndike yaitu:
(1). Law of exercise (hukum latihan). Prinsip
yang melekat pada hukum ini yaitu bahwa makin sering diulang respons yang
berasal dari stimulus tertentu, makin besar kemungkinan dicamkan. Terkait dengan
hukum ini, Thorndike memperkenalkan dua prinsip yaitu prinsip law of use dan
prinsip law of disuse. Law of use atau hukum penggunaan ialah koneksi antara
stimulus dan respons akan menguat saat keduanya dipakai. Dengan kata lain,
melatih koneksi (hubungan) antara situasi yang menstimulasi dengan suatu
respons akan memperkuat koneksi diantara keduanya. Sementara Law of disuse atau
hukum ketidakgunaan ialah koneksi antara situasi dan respons akan melemah
apabila praktik hubungan dihentikan, atau jika ikatan neural tidak dipakai;
(2) Law of Effect (hukum efek). Prinsip
mendasar dari hukum effek ini adalah bahwa suatu respon akan semakin diperkuat
bilamana diikuti oleh rasa senang, dan akan diperlemah bila diikuti rasa tidak
senang;
(3) Law of Readiness (hukum kesiapan). Hukum
kesiapan ini dikemukakan oleh Thorndike dalam bukunya yang berjudul The
Original Nature of Man, (Thorndike 1913a,p.125), dapat dijelaskan disini antara
lain adalah; (1) apabila suatu konduksi siap menyalurkan (to conduct), maka
penyaluran dengannya akan memuaskan, (2) apabila suatu konduksi siap untuk
menyalurkan, maka tidak menyalurkannya akan menjengkelkan, (3) apabila suatu
unit konduksi belum siap untuk penyaluran dan dipaksa untuk menyalurkan, maka
penyaluran dengannya akan menjengkelkan. Selanjutnya, pemikiran inilah yang
menjadi landasan awal perkembangan teknologi pembelajaran. Disamping itu,
rumusannya tentang prinsip-prinsip aktivitas diri, minat/motivasi, kesiapan
mental, individualisasi dan sosialisasi pada fase berikutnya “menurut Saettler”
menjadi entri point dalam perkembangan teknologi pembelajaran selanjutnya.
Untuk melaksanakan prinsip-prinsip tersebut seorang guru harus mengendalikan
kegiatan belajar anak di dalam kelas ke arah yang dikehendaki, namun tetap
dengan memperhatikan minat dan respons anak terhadap stimulus yang diberikan.
Stimulus yang diberikan tersebut perlu disesuaikan dengan kesiapan mental anak
serta perbedaan karakteristik masing-masing individu. Oleh karena itu situasi
dan lingkungan belajar perlu dirancang sedemikian rupa serta dalam praksis
pembelajarannya sedapat mungkin menggunakan media, agar terjadi hubungan antara
apa yang sudah diketahui anak dengan hal yang baru. Kemudian, teori berikutnya
yang menjadi landasan perkembangan teknologi pembelajaran adalah teori
penguatan (reinforcement) yang dikemukakan oleh Skiner.
Skiner menyaatakan bahwa belajar dengan
memperoleh jawaban yang tepat menjadi suatu hal yang tidak penting dalam
pendidikan. Dia menyatakan bahwa fokus nyata pada pendidikan haruslah pada pemberian
penguatan yang konsisten, segera dan positif bagi tingkah laku yang tepat dan
bagi pencapaian tujuan pendidikan yang diinginkannya. Lebih lanjut dia
menyimpulkan bahwa dari hasil-hasil percobaannya menunjukkan bahwa siswa akan
lebih mudah menjawabnya apabila dilengkapi dengan suatu pengalaman belajar.
Pelajaran diawali dengan tugas-tugas yang relatif mudah dan sudah dikenal
kemudian meningkat secara perlahan-lahan melalui tugas-tugas dan bahan baru.
Berangkat dari pandangannya inilah kemudian Skiner mengembangkan Mesin
Pengajaran yang disebut dengan Theaching Machine sebagai media untuk memberikan
pengalaman belajar kepada siswa. Prinsip kerja mesin ini, yaitu jika jawaban
siswa salah maka mesin tidak akan memberikan reaksi namun sebaliknya jika jawaban
siswa benar mesin akan memberikan reaksi dalam bentuk menghadirkan pertanyaan
baru. Reaksi pemberian pertanyaan baru ini lah yang kemudian disebut dengan
proses reinforcement. Dalam kaitannya dengan penguatan ini, Skiner mengemukakan
tiga variabel penting yaitu:
(1) peristiwa dimana perilaku berlangsung;
(2) perilaku itu sendiri;
(3) akibat dari perilaku itu.
Kalau semula mengajar hanya memperhatikan
bagaimana mengatur stimulus atau pesan yang disampaikan kepada siswa, maka
dengan pendapat ini yang lebih diperhatikan adalah respons dari siswa serta
tanggapan kepada siswa atas responsnya itu. Kemudian beberapa prinsip yang
dijabarkan dari teori penguatan ini, diantaranya adalah perilaku yang
diperkuat, cenderung untuk lebih bertahan; penguatan positif lebih berarti dari
yang negatif; penguatan langsung lebih efektif dari penguatan tertunda;
penguatan yang sering diberikan lebih efektif dari pada yang jarang. Berangkat
dari paradigma Skiner inilah kemudian menjadi landasan perkembangan teknologi
pembelajaran sebagai teori dan praktek dalam desain, pengembangan, pemanfaatan,
pengelolaan serta evaluasi tentang proses dan sumber untuk belajar.
Teori selanjutnya yang menjadi landasan
perkembangan teknologi pembelajaran adalah teori kurikulum dan pembelajaran. Teori
ini mulai muncul pada sekitar akhir tahun 1950-an bersamaan dengan gerakan
pembaharuan kurikulum. Pada saat itu dirasakan perlunya landasan yang lebih
ilmiah dan sistematik untuk penyusunan kurikulum. Brunner (1966) mengemukakan
teori penyusunan dan pelaksanaan kurikulum dengan suatu paradigma di mana suatu
tim besar yang terdiri dari ahli bidang studi, guru, dan ahli psikologi mulai
menyusun kurikulum yang kemudian dijadikan bahan untuk membuat buku, media atau
bahan lain dan saran kegiatan di kelas. Keseluruhan bahan ini lebih lanjut oleh
tim lokal (wilayah) untuk penyempurnaan dan penentuan cara penyajian, yaitu
melalui pembelajaran di kelas atau pembelajaran bermedia, yang keduanya saling
berkaitan. Bruner, mendasarkan pandangannya ini pada dua premis dasar yaitu;
(1) guru kelas tidak mungkin dapat mengikuti perkembangan bidang studi sambil
mengajar dengan penuh; dan (2) guru kelas tidak mempunyai keterampilan
metodologi yang cukup untuk melaksanakan pendekatan pemecahan masalah.
Keterampilan ini akan diperoleh dengan melaksanakan suatu model yang disajikan
melalui pembelajaran bermedia.
2. Landasan
Teori dari Ilmu Komunikasi
Sebagaimana telah dipahami bahwa teknologi
pembelajaran tumbuh dari praktek pendidikan dan gerakan komunikasi audio
visual. Edgar Dale yang terkenal dengan “kerucut pengalamannya” (cone of
exsperience) menyatakan bahwa teori komunikasi merupakan suatu metode yang
paling berguna dalam usaha meningkatkan efektifitas bahan audiovisual.
Pemikiran Edgar Dale ini merupakan upaya awal untuk memberikan alasan atau
dasar tentang keterkaitan antara teori belajar dan komunikasi audiovisual.
Kerucut pengalaman Edgar Dale dengan rentangan tingkat pengalaman dari yang
bersifat langsung hingga ke pengalaman melalui simbol-simbol komunikasi, dari
yang bersifat kongkrit ke yang abstrak telah menyatukan teori pendidikan John
Dewey dengan gagasan-gagasan dalam bidang psikologi. Selanjutnya, teori
komunikasi lainnya yang menjadi landasan perkembangan teknologi pembelajaran
sebagai bidang studi adalah teori komunikasi yang dikemukakan oleh Shanon dan
Weaver.
Teori komunikasi yang dikemukakan oleh Shanon
dan Weaver bersifat linear dengan arah tertentu dan tetap yaitu dari sumber
(komunikator) kepada penerima (komunikan). Satu unsur yang perlu diperhatikan
menurut teori ini bahwa dalam proses komunikasi pasti terdapat gangguan
(noise), yang senantiasa ada dalam setiap situasi komunikasi. Teori Shannon dan
Weaver ini kemudian disempurnakan oleh Schramm dengan menambahkan dua unsur
baru yaitu adanya lingkup pengalaman (field of experience) dan umpan balik.
Dengan adanya dua unsur baru ini Schramm menekankan pada adanya kesaaan
interpretasi akan arti lambang yang dipakai. Kemudian, teori komunikasi
berikutnya yang melandasi perkembangan teknologi pembelajaran adalah teori
komunikasi yang dikembangkan oleh Berlo dan teori komunikasi konvergensi yang
dikembangkan oleh Rogers dan Kincaid. Teori komunikasi yang dikembangkan oleh
Berlo membawa implikasi dalam perkembangan teknologi pembelajaran, dimana
dimasukkannya orang dan bahan sebagai sumber yang merupakan bagian integral
dari teknologi pembelajaran. Isi pesan beserta struktur dan penggarapannya juga
merupakan bagian dari teknologi pembelajaran. Segala bentuk pesan (lambang,
verbal, taktil, serta ujud nyata) merupakan bagian dari keseluruhan proses
komunikasi, dan dengan demikian juga menjadi bagian dari teknologi
pembelajaran. Sedangkan dalam teori komunikasi konvergensi yang dikembangkan
oleh Rogers dan Kincaid mendasarkan pada sebuah prinsip bahwa komunikasi itu
berlangsung tanpa awal dan akhir, sepanjang manusia sadar akan diri dan
lingkungannya. Proses komunikasi tidak berlangsung antar individu saja
melainkan dalam suatu realitas sosial. Pengaruh teori ini dalam pendidikan
adalah:
(1) pendidikan seumur hidup yang berlangsung
sepanjang orang sadar akan diri dan lingkungannya;
(2) pendidikan gerak cepat dan tepat yang lebih
mengacu pada kemampuan untuk hidup di masyarakat;
(3) pendidikan yang mudah dicerna dan diresapi;
(4) pendidikan yang menarik perhatian dengan
cara penyajian yang bervariasi dan merangsang sebanyak mungkin indera;
(5) pendidikan yang menyebar, baik pelayanannya
maupun peranannya; dan
(6) pendidikan yang mustari (tepat saat)
menyusup tanpa niat sebelumnya, yaitu pada saat ada kekosongan pikiran.
Kesemunya itu, merupakan landasan strategis
dalam perkembangan teknologi pembelajaran sebagai sebuah bidang kajian. Pada
bagian lain, teknologi pembelajaran sebagai sebuah bidang profesi sekaligus
sebagai sebuah bidang kajian, tentunya mengalami proses pengkajian jati diri
kearah yang lebih baik. Proses ini, tentunya melalui tahapan-tahapan pengkajian
yang sistematis dan terencana dengan hasil yang terukur. Proses dimaksud
dilakukan melalui kegiatan penelitian untuk menopang perkembangan ke lima kawasan
teknologi pembelajaran.
2. Kedudukan
penelitian pada domain teknologi pembelajaran.
Minimal ada empat sebab yang melatar belakangi
orang melakukan penelitian termasuk dalam mengembangkan teknologi pembelajaran
sebagai bidang kajian menurut Sukmadinata (2008 : 2) yaitu Pertama, karena
pengetahuan, pemahaman dan kemampuan manusia sangat terbatas dibandingkan
dengan lingkungannya yang begitu luas. Banyak hal yang tidak diketahui,
dipahami, tidak jelas dan meimbulkan keraguan dan pertanyaan tentang teknologi
pembelajaran baik yang berkenaan dengan landasan perkembangannya, sejarah dan
berbagai aspek yang terkait dengan kawasan teknologi pembelajaran.
Ketidaktahuan, ketidakpahaman, dan ketidakjelasan seringkali menimbulkan rasa
takut dan rasa terancam. Oleh karena itu, penelitian menjadi pilihan untuk
menguraikan ketidakjelasan tersebut . Kedua, manusia memiliki dorongan untuk
mengetahui atau cariousity. Manusia selalu bertanya, apa itu, bagaimana itu,
mengapa begitu dan sebagainya. Bagi kebanyakan orang, jawaban-jawaban sepintas
dan sederhana mungkin sudah memberikan kepuasan, tetapi bagi orang-orang
tertentu, para ilmuwan, peneliti dan para pemimpin dibutuhkan jawaban yang
lebih mendalam, lebih rinci dan lebih komrehensif. Pertanyaan-pertanyaan yang
berangkat dari dorongan cariousity tersebut juga berlaku dalam teknologi
pembelajaran sebagai bidang kajian. Pertanyaan itu misalnya, bagaimana
mengembangkan teknologi pembelajaran, apa yang harus dilakukan untuk
meningkatkan kualitas teknolog pembelajaran, dan berbagai pertanyaan lainnya.
Jawaban dari berbagai pertanyaan itu tentunya harus lahir dari proses analisa
berdasarkan data yang dapat dipertangungjawabkan secara ilmia. Untuk
kepentingan itu, maka penelitian dalam teknologi pembelajaran berkedudukan
sebagai alat untuk menyediakan data-data ilmiah dalam menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut. Ketiga, manusia di dalam kehidupannya selalu
dihadapkan kepada masalah, tantangan, ancaman, kesulitan baik di dalam dirinya,
keluarganya, masyarakat sekitarnya serta dilingkungan kerjanya. Masalah,
tantangan dan kesulitan tersebut membutuhkan penjelasan, pemecahan dan
penyelesaian. Tidak semua masalah dan kesulitan dapat segera dipecahkan.
Masalah-masalah yang pelik, sulit dan kompleks membutuhkan penelitian untuk
pemecahan dan penyelesaiannya. Keempat, manusia merasa tidak puas dengan apa
yang telah dicapai, dikuasai, dan dimilikinya, ia selalu ingin yang lebih baik,
lebih sempurna, lebih memberikan kemudahan, selalu ingin menambah dan
meningkatkan “kekayaan” dan fasilitas hidupnya. Dari hasil penelitian, manusia
dapat mengembangkan pengetahuan yang bermakna bagi kehidupan ilmiah maupun
kehidupan sosial. Berangkat dari kerangka pikir tersebut di atas, maka berlaku
pula dalam mengembangkan domain/kawasan teknologi pembelajaran. Sebab disadari
bahwa setiap bidang kajian termasuk teknologi pembelajaran dapat berkembang
secara maksimal bila didukung oleh pengkajian ilmiah yang dilakukan secara
terus menerus. Penelitian merupakan salah satu bentuk sistematis dari kegiatan
pengkajian ilmiah. Jadi penelitian dalam domain/kawasan teknologi pembelajaran
berkedudukan sebagai model pengkajian ilmiah yang sistematis untuk menjawab dan
memecahkan berbagai masalah yang timbul dalam domain/kawasan teknologi
pembelajaran. Disamping itu, lewat penelitian akan dapat diketahui mengenai
kelayakan dan efektifitas berbagai inovasi baru yang ditemukan dan dikembangkan
pada ke lima kawasan teknologi pembelajaran. Contohnya, pada kawasan desain.
Ciri utama desain adalah adanya dugaan prinsip-prinsip dan prosedur-prosedurnya
didasarkan pada hasil penelitian. Misalnya, kita ingin mengembangkan sebuah
model desain pesan yang dapat dipergunakan pada pembelajaran anak-anak tuna
netra. Maka dalam proses pengembangan sampai validasi produk harus dilakukan secara
sistematis melalui mekanisme penelitian yang terencana dengan prosedur yang
ketat pula. Hal ini dilakukan agar model desain pesan yang tengah kita
kembangkan benar-benar valid dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
3. Implementasi
teori preskriptif dalam pembelajaran
pembelajaran harus dikelola secara kompetitif
dan inovatif. Sebab, lewat pembelajaran yang kompetitif, diyakini akan dapat
melahirkan manusia-manusia yang memiliki kemampuan kompetisi pula. Pribadi yang
kompetitif disini bukan berarti pribadi yang egoistik (Tilaar, 2000: 15).
Pribadi yang kompetitif disini adalah pribadi yang inovatif melalui pembudayaan
sikap kerja sama. Dengan kerja sama, dapat dikembangkan kompetisi yang sehat
sehingga produk IPTEK yang dihasilkan berkualitas. Pembelajaran harus menyentuh
aspek kontekstual masyarakat sekitar. Artinya, pembelajaran memiliki relevansi
dengan kehidupan keseharian. Oleh karena itu, materi yang diberikan harus
terintegrasi satu sama lain. Contoh, misalnya ketika seorang anak belajar tentang
hukum dan demokrasi pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan harusnya
disamping dia belajar tentang teori “namun” dia seharusnya mengalami proses
hukum dan demokratisasi dalam bentuk miniatur kehidupan yang dilandaskan oleh
hukum dan demokrasi di kelas. Hal ini dapat diwujudkan melalui praktek “Role
Playing” dan atau “demonstrasi” yang berkaitan dengan isu-isu hukum dan
demokrasi. Di sisi lain, anak didik dapat dihadapkan dengan situasi nyata,
melalui metode penugasan kepada anak didik untuk mereview proses hukum yang
terjadi dilembaga-lembaga hukum yang ada seperti lembaga peradilan dan
kepolisian. Dengan proses pembelajaran seperti tersebut, anak didik akan
memiliki kekayaan teori dan praktek yang terkait dengan hukum dan demokrasi
yang selanjutnya menjadi informasi penting bagi pembentukan pribadi yang sadar
hukum dan demokratis. Implikasinya adalah dalam praktek pendidikan lewat
praksis pembelajaran dikelas harus dikelola dan diselenggarakan dengan
pendekatan pendidikan “andragogy”. Knowlis sebagaimana dikutip oleh Wiliam F.
O’neil (2002: xviii) menjelaskan bahwa andragogy atau pendekatan pendidikan
orang dewasa merupakan pendekatan yang menempatkan peserta didik sebagai orang
dewasa. Di balik pengertian ini, Knowles ingin menempatkan murid sebagai subjek
dari sistem pendidikan. Murid sebagai orang dewasa diasumsikan memiliki
kemampuan aktif untuk merencanakan arah, memilih bahan dan materi yang dianggap
bermanfaat, memikirkan cara terbaik untuk belajar, menganalisis dan menyipulkan
serta mampu mengambil manfaat pendidikan. Fungsi guru adalah sebagai
fasilitator dan bukan menggurui. Oleh karena itu, relasi antara guru dan murid
bersifat “multicomunication” (Knowles, 1970). Dengan pendekatan ini, maka anak
didik deberikan ruang untuk mengkontruk pengetahuan berdasarkan kemampuan dan
pengetahuan yang dimilikinya. Peran guru dalam pembelajaran hanya sebatas
menyiapkan iklim belajar yang kondusif sehingga siswa dapat membelajarkan
dirinya dari sumber-sumber belajar yang ada dan media belajar yang disediakan
guru.
4. Desain
Pembelajaran berdasarkan aspek perkembangan teknologi informasi.
Sebagaimana diketahui bahwa kawasan desain
adalah suatu proses untuk menentukan kondisi belajar dengan tujuan untuk
menciptakan strategi dan produk. Terkait dengan hal ini, maka guru sebagai
pengelola pembelajaran pada era teknologi informasi saat sekarang dalam
mendesain pembelajaran harus mampu menghadirkan materi dari berbagai sumber
informasi yang bervariasi. Langkah ini tentunya dilandasi pada sebuah prisnsip
bahwa semakin banyak informasi yang diperoleh siswa tentang sebuah masalah,
maka semakin mudah lah bagi siswa untuk memecahkan masalah tersebut Prinsip ini
mensyaratkan bahwa belajar adalah suatu proses pengolahan, pemanfaatan dan
penggunaan informasi. Dalam konteks ini, maka semakin beragamnya informasi yang
diterima oleh siswa dari berbagai sumber belajar tentunya akan semakin
memperkaya pengetahuan dan pemahaman siswa itu sendiri tentang suatu objek yang
sedang dibahas. Untuk kepentingan itu, maka guru harus mampu memanfaatkan dan
mengembangakan berbagai teknologi informasi baik dalam bentuk CD Pemebelajaran
maupun lewat WEB pembelajaran yang sedang trend saat ini. Dengan meningkatnya
daya muat untuk mengumpulan, menyimpan, memanipulasikan dan meyajikan informasi
pada era saat ini maka seyogyanya guru harus mampu mendayagunakan kelebihan
tersebut dalam penyampaian materi pembelajaran kepada siswa. Misalnya desain
pembelajaran berbasis internet. Sebagai media yang diharapkan akan menjadi
bagian dari suatu proses belajar mengajar di sekolah, internet mampu memberikan
dukungan bagi terselenggaranya proses komunikasi interaktif antara guru dan
siswa sebagaimana yang dipersyaratkan dalam suatu kegiatan pembelajaran. Poin
penting lainnya, desain pembelajaran dengan pendekatan teknologi informasi
adalah bahwa guru harus mampu mendesain materi sebaik mungkin, materi yang
mudah dicerna oleh siswa, materi yang dapat ditangkap oleh berbagai indera yang
dimiliki oleh siswa mulai indera pendengaran sampai indera penglihatan, materi
yang dianggap penting dan relevan dengan kebutuhan belajar siswa. Dengan cara
itu, maka informasi yang diperoleh siswa dalam bentuk materi tersebut akan
tersimpan lama dalam long term memory, yang pada gilirannya nanti akan dapat
dimanfaatkan oleh siswa secara tekstual.
5. Cara menjembatani perkembangan teknologi
informasi yang bergitu cepat yang tidak didukung dengan ketersediaan sarana dan
prasarana di sekolah.
Satu hal yang harus menjadi catatan penting
bahwa esensi dari pembelajaran adalah bagaimana terjadinya interaksi
komunikatif antara beragai unsur yang terlibat dalam proses pembelajaran, baik
interaksi antara siswa dengan siswa maupun interaksi antara siswa dengan guru.
Lewat interaksi yang terbangun itu kemudian, siswa akan memperoleh berbagai
pengalaman belajar yang dibutuhkan dalam meningkatkan kualitas pengetahuan dan
pemahamannya terhadap sebuah persoalan atau materi tertentu. Meski trend saat
ini, pembelajaran lebih bersifat online namun tidak serta merta trend ini
menjadi sesuatu yang harus diterapkan pada seluruh situasi pembelajaran. Sebab,
bagaimanapun juga sarana dan prasara menjadi faktor kunci bagi kelancaran
kegiatan dengan memanfaatkan teknologi informasi yang bergitu canggih saat ini.
Untuk itu, dalam menjembatani hal ini tiada jalan lain, selain dengan
memaksimalkan dan mendayagunakan berbagai sumber belajar yang tersedia
disekitar lingkungan peserta didik. Proses memaksimalkan ini dapat dilakukan
baik dengan cara memanipulasi atau merekayasa media dan sumber belajar yang
tersedia ke arah yang lebih baik dan representatif sehingga kaya akan berbagai
informasi yang berimplikasi positif bagi kegiatan pembelajaran. Di samping itu,
harus dipahami pula bahwa teknologi informasi baik berupa internet, email dan
lain sebagainya hanya merupakan alat dan sarana pendukung kelancaran kegiatan
pembelajaran, yang terpenting adalah bagaimana dalam proses pembelajaran
terbangun proses yang kompleks dan terpadu. Kompleks dan terpadu disini
tentunya terkait dengan pelibatan orang, prosedur, gagasan, peralatan meski
seadanya namun telah dimanipulasi sehingga kaya akan informasi-informasi yang
relevan dengan kegiatan pembelajaran, dan organisasi dalam menganalisis
masalah, mencari jalan pemecahannya, melaksanakan, mengevaluasi dan mengelola
pemecahan masalah yang menyangkut semua aspek belajar siswa. Inilah inti dari
teknologi pembelajaran, bukan hanya dalam hal pemanfaatan teknologi informasi
dalam bentuk peralatan namun yang lebih penting bagaimana proses tersebut di
atas dapat diwujudkan sehingga keterbatasan sarana dan prasarana tidak menjadi
kendala yang berarti dalam membelajarkan peserta didik.
6. Implementasi aspek budaya dalam pembelajaran
di era global yang sarat dengan perkembangan TIK
Dalam era global seperti saat ini, setuju atau
tidak, mau atau tidak mau, kita harus berhubungan dengan teknologi khususnya
teknologi informasi dan komunikasi. Hal ini disebabkan karena teknologi
tersebut telah mempengaruhi kehidupan kita sehari-hari. Oleh karena itu, maka
proses ini tentunya akan berimplikasi pada pembentukan budaya baru dalam
pembelajaran. Kalau selama ini, siswa tidak melek pada perkembangan TIK maka
seiring dengan semakin menguatnya arus TIK, anak didik harus dibiasakan untuk
bersentuhan dengan berbagai produk teknologi khususnya yang memiliki relevansi
dengan kegiatan pembelajaran. Pembudayaan nilai kerjasama menjadi catatan penting
dalam penerapan pembelajaran berbasis TIK. Hal ini dapat dilakukan dengan
menugaskan kepada siswa untuk mengumpulkan berbagai informasi yang terkait
dengan materi tertentu dalam pembelajaran, selanjutnya meminta masing-masing
siswa untuk memverifikasi dan saling bertukar informasi satu sama lain. Dengan
proses tersebut, maka kerjasama antar siswa dapat terbangun dan dikembangkan
secara sistematis. Pada bagian lain, pembudayaa budaya saling ketergantungan
dan membutuhkan dapat dilakukan dalam pembelajaran berbasis TIK. Siswa akan
terhubung dengan berbagai orang di dunia maya misalnya, saling bertukar
informasi, berbagi materi dan lain sebagainya. Proses ini kemudian lambat laun
akan memunculkan budaya ketergantungan dikalangan siswa dengan berbagai orang
yang tergabung dalam dunia maya, pada akhirnya proses ini pula akan memunculkan
budaya menghargai dan menghormati sesama bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar