BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Perkembangan
dunia informasi semakin maju pesat dengan ditandai berkembangnya media masa.
Kemajuan dunia informasi dapat dilihat di seluruh belahan dunia yang semakin
semarak beredarnya media cetak, seperti majalah, tabloid, koran dan juga media
elektronik seperti VCD, televise, internet, dan lain-lain. Namun peningkatan ini tidak dibarengi dengan
menyngkatnta kualitas isi dari media masa tersebut. Tidaklah mengherankan
ketika terjadi kasus pemerkosaan terhadap anak-anak oleh anak seusia SMP,
adegan panas yang dilakukan oleh siswa-siswa SMA, seperti kasus di Cianjur (
melakukan sex di dalam kelas, yang turut melibatkan guru), dan banyak lagi
kasus-kasus lain. Banyaknya kasus yang terjadi pada akhir-akhir ini merupakan
bukti rendahnya kualitas media masa yang ada. Karena media masa tidak sedikit
berisi hal-hal yang berbau porno. Bahkan hal-hal yang berbau porno tersebut
sangat mudah diakses melalui internet.
Jika
kehidupan masyarakat dihadapkan secara terus menerus dengan suguhan yang tidak
mengindahkan batas-batas nilai kesopanan dan kesusilaan, maka bisa jadi
pornografi dan pornoaksi tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang asusila, akan
tetapi menjadi sesuatu yang biasa dalam masyarakat, sehingga perilaku
masyarakat pun akan berubah.. Menurut Jane Brown, ilmuwan dari Universitas
North Carolina, ”semakin banyak remaja disuguhi eksploitasi seks di media,
mereka akan semakin berani mencoba seks diusia muda”. Untuk itu di sini kami
akan membahas tentang pornografi dan pornoaksi di tinjau dari perspektif Islam.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan pornografi dan pornoaksi?
2. Apakah sebab dan dampak dari pornografi?
3. Bagaimanakah pornografi dan pornoaksi dalam perspektif Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pornografi dan Pornoaksi
Istilah pornografi bila
dilacak pengertiannya secara etimologis berasal dari bahasa Yunani kuno “porne”
yang berarti wanita jalang, dan “graphos” yang artinya gambar atau lukisan.
Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, pornografi diartikan sebagai: (1) penggambaran tingkah
laku secara erotis dengan lukisan atau untuk membangkitkan nafsu birahi,
mempunyai kecenderungan merendahkan kaum wanita; (2) bahan yang dirancang
dengan sengaja dan semata-mata untuk membangkitkan nafsu seks.
Menurut Esther
D. Reed sebagaimana yang dikutip oleh Supartiningsih berpendapat bahwa
pornografi secara material menyatukan seks atau eksposur yang berhubungan
dengan kelamin sehingga dapat menurunkan martabat atau harga diri. Sedangkan
menurut Rowen Ogien pornografi dapat didefinisikan sebagai representasi
eksplisit (gambar, tulisan, lukisan dan foto) dari aktivitas seksual atau hal
yang tidak senonoh, mesum atau cabul yang dimaksudkan untuk dikomunikasi ke
publik.[1]
Sedangkan
pornoaksi adalah sebuah perbuatan memamerkan aurat yang digelar dan ditonton
secara langsung dari mulai aksi yang biasa-biasa saja seperti aksi para artis
di panggung-panggung hiburan umum hingga luar biasa dan atraktif seperti tarian
telanjang atau setengah telanjang di tempat-tempat hiburan khusus.[2]
Jadi pornoaksi
merupakan perbuatan perwujudan dari makna pornografi itu sendiri yang berupa
tindakan asusila.
Setelah RUU
disahkan pada tanggal 30 oktober 2008, definisi Pornografi menjadi "Pornografi
adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak,
animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui
berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat
kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam
masyarakat." Definisi ini menggabungkan pornografi dan pornoaksi pada RUU
APP sebelumnya, dengan memasukkan "gerak tubuh" kedalam definisi
pornografi.
B. Sebab dari Pornografi dan
Pornoaksi
Diantara penyebab terjadinya perilaku pornografi antara lain:
1. Faktor politik dibidang
keagamaan yang terlihat dalam politik pendidikan agama disekolah-sekolahdasar
sampai perguruan tinggi.
Jumlah jam pelajaran atau jam kuliah masih sangat tidak memadai dibanding jam
tayangan televisi yang mendominasi waktu belajar.
2. Pengaruh budaya asing
yang masuk dalam negeri melalui jaringan media komunikasi, baik cetak maupun
elektronik.
3. Kurangnya pengawasan
dari orangtua.
4. Frustasi ekonomi, yang ditandai dengan remutusa hubungan kerja (PHK) dan
banyaknya pengangguran. Dengan kondisi yang sulit itulah menyebabkan orang
mencari jalan pintas untuk mencukupi kebutuhan, meskipun harus merugikan atau
merusak moral orang banyak.
5. Kurangnya pengetahuan dan bahaya dari pornografi dan pornoaksi.
C. Akibat dari Pornografi
dan Pornoaksi
Akibat
tindak pidana pornografi dan pornoaksi seperti yang ditayangkan oleh
televise-televisi maupun berita-berita melalui media cetak di Indonesia
adalah banyaknya kasus perkosaan, perzinaan, aborsi bahkan pembunuhan.
Perkosaan-perkosaan akibat tindak pidana pornografi maupun pornoaksi telah
banyak dilakukan meskipun pornografi dan pornoaksi bukan satu-satunya penyebab
terjadinya perkosaan.[3]
Perkosaan
tersebut tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa terhadap orang dewasa, tetapi
juga terhadap anak kecil. Bahkan yang lebih memprihatinkan lagi perkosaan
tersebut dilakukan oleh ayah terhadap anaknya sendiri atau dilakukan oleh
saudaranya.
Di
samping itu apabila suatu masyarakat dihadapkan pada pornografi dan pornoaksi secara
terus-menerus maka dampak yang terjadi
di tatanan masyarakat antara lain:
1. Pornografi dan pornoaksi tidak lagi dianggap sebagai sesuatu
yang tabu dan asusila, tetapi masyarakat akan menganggap itu sesuatu yang biasa
dan wajar.
- Diawali dengan terbiasa melihat dan membaca lama-kelamaan perilaku pun berubah. Perasaan malu sudah tidak ada lagi, dan berkembanglah sikap apatis. Akhirnya orang merasa bebas merdeka untuk melakukan apapun tanpa adanya kontrol masyarakat.[4]
- Pornografi dan pornoaksi akan membuat pikiran berorientasi pada hal-hal yang berbau seks.[5]
- Akan mengubah tatanan nilai kesopanan dan kesusilaan. Nilai-nilai agama akan tergusur dan kesadaran akan nilai-nilai social semakin melemah.
- Perilaku yang mengutamakan intelektualitas dan budaya tinggi berupa kreativitas dan kasih sayang berganti menjadi budaya rendahan seperti seks dan kekerasan.[6]
- Pornografi bersifat mencandu dan mengikat sehingga pelaku terus membutuhkan dan tak pernah merasa puas.
- Adanya penyesalan dalam hati dan fikiran bagi pelaku.
Selain itu masih banyak lagi
dampak dari maraknya pornografi dan pornoaksi yang meresahkan masyarakat ini.
D.
Pandangan Islam terhadap Pornografi dan Pornoaksi
Dalam perspektif Islam,
pembicaraan tentang pornografi tidak
bias dipisahkan denga pembicaraan tentang aurat, tabarruj (berpenampilan seronok), dan pakaian. Unsure yang
terpenting dalam konsep pornografi adalah melanggar kesusilaan dan
membangkitkan nefsu seks. Sedangkan dalam terminology Islam persoalan tersebut
erat kaitannya dengan persoalan aurat dan pakaian. Karena yang disebut aurat
dalam Islam adalah bagian tubuh manusia yang tidak boleh diperlihatkan atau
harus ditutup karena dapat menimbulkan rasa malu. (QS. An-Nur: 58), dan
membangkitkan nafsu seks orang yang melihatnya (QS. Al-Ahzab: 59). Sementara
itu pakaian merupakan alay yang digunakan untuk menutup aurat yang dimaksud.
Sedangkan tabarruj menggambarkan
seseorang dalam berpakaian yang cenderung seronok atau mencirikan penampilan
yang tidak terhormat. Penampilan yang dimaksud merupakan gabungan dari
pemahaman seseorang tentang batasan aurat dan cara berpakaian.[7]
Beberapa ayat yang membicarakan tentang aurat,
tabarruj (berpenampilan seronok), dan
pakaian. Ayat-ayat tersebut antara lain:
1.
Ayat tentang aurat, dalam
QS. An-Nur: 31 dan 58, yang berbunyi:
@è%ur ÏM»uZÏB÷sßJù=Ïj9 z`ôÒàÒøót ô`ÏB £`ÏdÌ»|Áö/r& z`ôàxÿøtsur £`ßgy_rãèù wur úïÏö7ã £`ßgtFt^Î wÎ) $tB tygsß $yg÷YÏB ( tûøóÎôØuø9ur £`ÏdÌßJè¿2 4n?tã £`ÍkÍ5qãã_ ( wur úïÏö7ã £`ßgtFt^Î wÎ) ÆÎgÏFs9qãèç7Ï9 ÷rr& ÆÎgͬ!$t/#uä ÷rr& Ïä!$t/#uä ÆÎgÏGs9qãèç/ ÷rr& ÆÎgͬ!$oYö/r& ÷rr& Ïä!$oYö/r& ÆÎgÏGs9qãèç/ ÷rr& £`ÎgÏRºuq÷zÎ) ÷rr& ûÓÍ_t/ ÆÎgÏRºuq÷zÎ) ÷rr& ûÓÍ_t/ £`ÎgÏ?ºuqyzr& ÷rr& £`Îgͬ!$|¡ÎS ÷rr& $tB ôMs3n=tB £`ßgãZ»yJ÷r& Írr& úüÏèÎ7»F9$# Îöxî Í<'ré& Ïpt/öM}$# z`ÏB ÉA%y`Ìh9$# Írr& È@øÿÏeÜ9$# úïÏ%©!$# óOs9 (#rãygôàt 4n?tã ÏNºuöqtã Ïä!$|¡ÏiY9$# ( wur tûøóÎôØo £`ÎgÎ=ã_ör'Î/ zNn=÷èãÏ9 $tB tûüÏÿøä `ÏB £`ÎgÏFt^Î 4 (#þqç/qè?ur n<Î) «!$# $·èÏHsd tmr& cqãZÏB÷sßJø9$# ÷/ä3ª=yès9 cqßsÎ=øÿè? ÇÌÊÈ
Katakanlah kepada wanita yang
beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan
janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari
padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah
Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau
ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka,
atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki
mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam,
atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak
mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti
tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah,
Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.(QS. An-Nur: 31)
$ygr'¯»t
úïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
ãNä3RÉø«tGó¡uÏ9
tûïÏ%©!$#
ôMs3n=tB
óOä3ãZ»yJ÷r&
tûïÏ%©!$#ur
óOs9
(#qäóè=ö7t
zNè=çtø:$#
óOä3ZÏB
y]»n=rO
;Nº§tB
4 `ÏiB
È@ö7s%
Ío4qn=|¹
Ìôfxÿø9$#
tûüÏnur
tbqãèÒs?
Nä3t/$uÏO
z`ÏiB
ÍouÎg©à9$#
.`ÏBur
Ï÷èt/
Ío4qn=|¹
Ïä!$t±Ïèø9$#
4 ß]»n=rO
;Nºuöqtã
öNä3©9
4 [øs9
ö/ä3øn=tæ
wur
öNÎgøn=tæ
7y$uZã_
£`èdy÷èt/
4 cqèùº§qsÛ
/ä3øn=tæ
öNà6àÒ÷èt/
4n?tã
<Ù÷èt/
4 y7Ï9ºxx.
ßûÎiüt7ã
ª!$#
ãNä3s9
ÏM»tFy$#
3 ª!$#ur
íOÎ=tæ
ÒOÅ3ym
ÇÎÑÈ
Hai
orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu
miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara kamu, meminta izin kepada
kamu tiga kali (dalam satu hari) Yaitu: sebelum sembahyang subuh, ketika kamu
menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari dan sesudah sembahyang Isya'.
(Itulah) tiga 'aurat bagi kamu. tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas
mereka selain dari (tiga waktu) itu. mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada
keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan
ayat-ayat bagi kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.(QS.
An-Nur: 58)
2.
Ayat tentang tabarruj (berpenampilan seronok), dalam QS. Al-Ahzab: 33 dan QS.
An-Nur: 60, yang berbunyi:
tbös%ur
Îû
£`ä3Ï?qãç/
wur
Æô_§y9s?
yly9s?
Ïp¨Î=Îg»yfø9$#
4n<rW{$#
( z`ôJÏ%r&ur
no4qn=¢Á9$#
úüÏ?#uäur
no4q2¨9$#
z`÷èÏÛr&ur
©!$#
ÿ¼ã&s!qßuur
4 $yJ¯RÎ)
ßÌã
ª!$#
|=ÏdõãÏ9
ãNà6Ztã
}§ô_Íh9$#
@÷dr&
ÏMøt7ø9$#
ö/ä.tÎdgsÜãur
#ZÎgôÜs?
ÇÌÌÈ
Dan
hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku
seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah
zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak
menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan membersihkan kamu
sebersih-bersihnya.(QS. Al-Ahzab: 33)
ßÏãºuqs)ø9$#ur
z`ÏB
Ïä!$|¡ÏiY9$#
ÓÉL»©9$#
w tbqã_öt
%[n%s3ÏR
}§øn=sù
ÆÎgøn=tæ
îy$oYã_
br&
Æ÷èÒt
Æßgt/$uÏO
uöxî
¤M»y_Îhy9tFãB
7puZÌÎ/
( br&ur
ÆøÿÏÿ÷ètFó¡o
×öyz
Æßg©9
3 ª!$#ur
ììÏJy
ÒOÎ=tæ
ÇÏÉÈ
Dan
perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang
tiada ingin kawin (lagi), Tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka
dengan tidak (bermaksud) Menampakkan perhiasan, dan Berlaku sopan adalah lebih
baik bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Bijaksana.(QS. An-Nur:
60)
3.
Ayat tentang pakaian, dalam
QS.Al-Ahzab: 59, yang berbunyi:
$pkr'¯»t
ÓÉ<¨Z9$#
@è%
y7Å_ºurøX{
y7Ï?$uZt/ur
Ïä!$|¡ÎSur
tûüÏZÏB÷sßJø9$#
úüÏRôã
£`Íkön=tã
`ÏB
£`ÎgÎ6Î6»n=y_
4 y7Ï9ºs
#oT÷r&
br&
z`øùt÷èã
xsù
tûøïs÷sã
3 c%x.ur
ª!$#
#Yqàÿxî
$VJÏm§
ÇÎÒÈ
Hai Nabi,
Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri
orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh
mereka". yang demikian itu supaya mereka
lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS.Al-Ahzab: 59)
Ayat-ayat
di atas membahas tentang aurat, tabarruj (berpenapilan seronok), dan pakaian.
Dan ketiganya berkaitan satu sama lain. Sedangkan pembahasan pornoagrafi dan
pornoasi tidak lepas dari pembahasan tentang aurat. Aurat laki-laki yaitu
antara pusar sampai lutut. Sedangkan kemaluan adalah aurat mughaladzoh
(besar/berat) yang telah disepakati akan keharaman membukanya di hadapan orang
lain dan haram pula membukanya, kecuali dalam kondisi darurat seperti berobat
dan lain sebagainya. Bahkan kalau aurat
ditutup dengan pakaian tetpai tipis atau menampakkan bentuknya, maka ia juga
terlarang menurut syara’.
Mayoritas fuqoha berpendapat
bahwa paha laki-laki termasuk aurat. Sebagian fuqoha berpendapat bahwa paha
laki-laki bukan aurat dengan berdalihkan hadits Anas bahwa Rasulullah saw
pernah membuka pahanya dalam beberapa kesempatan. Pendapat ini didukung oleh
Muhammad Ibnu Hazm.
Adapun Al-Muhaqqiq Ibnul Qayyim
mengatakan dalam Tahdzib Sunan Abi Daud sebagai berikut: “jalan mengompromikan
hadits-hadits tersebut ialah dikemukakan oleh murid-murid Imam Ahmad dan
lain-lain bahwa aurat itu ada dua macam, yaitu mukhaffafah (ringan/kecil) dan
mugholadzoh (berat/besar). Aurat besar ialah qabul dan dubur, sedangkan aurat
muhaffafah ialah paha, dan tidak ada pertentangan antara perintah menundukkan
pandangan dari melihat paha karena paha itu juga aurat dan membukanya karena
paha itu aurat mukhaffafah. Wallahu a’lam.”[8]
Dalam hal ini terdapat rukhshoh
atau keringanan bagi para olahragawan dan sebagainya yang biasa mengenakan
celana pendek, termasuk juga bagi para penontonnya. Sedangkan untuk melihat
bagian tubuh yang tidak termasuk aurat laki-laki seperti wajah, rambut, betis
dan sebagainya diperbolahkan selama tidak disertai syahwat atau dikhawatirkan
terjadinya fitnah.
Sedangkan aurat wanita itu
seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan..
Asy-Syirazi salah seorang ulama’
syafi’iyah, pengarang kitab Al-Muhadzdzab
mengatakan bahwa adapun wanita merdeka, maka seluruh tubuhnya adalah aurat,
kecuali wajah dan telapak tangan (Imam Nawawi berkata: hingga pergelangan
tangan) berdasarkan firman Allah: “Dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya kecuali apa yang bisa tampak dari padanya.” Ibnu Abbas berkata:
“wajahnya dan kedua telapak tangannya.”
Di samping itu karena Nabi SAW
melarang wanita yang sedang ihrom mengenakan kaus tangan dan cadar. Seandainya
wajah dan telapak tangan aurat, niscaya baliau tidak mengharamkan menutupnya.
Selain itu, juga karena dorongan kebutuhan untuk menampakkan wajah pada waktu
jual beli, serta perlu menampakkan tangan untuk mengambil dan memberikan
sesuatu, karena itu (wajah dan tangan) ini tidak dianggap aurat. Imam Nawawi
menambahkan dalam syarahnya Al-Muhadzdzab,
yaitu Al-Majmu’, “diantara ulama’
syafi’iyah ada yang menceritakan atau mengemukakan suatu pendapat bahwa telapak
kaki bukanlah aurat”. Al-Muzani berkata, “talapak kaki itu bukan aurat.”[9]
Adapun menurut madzhab Hanafi,
kaki bukanlah aurat dan wanita boleh terbuka kakinya apabila tidak ada fitnah
Secara fiqh, melihat aurat
seseorang adalah haram. Sedangkan
memamerkan aurat merupakan tindak pornoaksi. Akan tetapi pengertian dan
penafsiran tentang pornografi dan pornoaksi itu sendiri di dalam masyarkat
berbeda-beda.
Pengertian pornografi dan
pornoaksi dipengaruhi oleh kondisi fisik, mental, spiritual, dan social
manusia. Dan juga dipengaruhi oleh kondisi masyarakat dan bangsa yang
bersangkutan.
Batasan pornografi dan pornoaksi
yang dipengaruhi oleh ruang dan waktu saat ini terdapat di beberapa Negara di
dunia, diantaranya negara maju (Amerika Utara, Eropa, Jepangs, Australia),
Negara berkembang, dan negara miskin.[10]
Dan masing-masing jenis Negara tersebut mempunyai batasan pengertian pornoaksi
dan pornografi yang berbeda-beda dan perbedaan ini dipengaruhi oleh
factor-faktor lain seperti factor agama, sosial, budaya, politik, ekonomi,
pendidikan dan lain-lain yang berlaku di masing-masing Negara atau tempat. Dan
dipengaruhi pula oleh waktu pornografi dan pornoaksi itu dirumuskan.
Akan tetapi jika ditinjau dari
sudut pandang hukum Islam, pengertian pornografi dan pornoaksi jelas dibatasi
oleh syariat yang berlaku tanpa batas ruang dan waktu, yang berlaku universal
sepanjang masa.
Apabila berbicara tentang masalah hukuman,
bab tentang hukuman pornografi dan pornoaksi ini di rumuskan dalam RUU kitab
Undang-undang Hukum Pidana tahun 2004 bab XVI tentang Tindak Pidana Kesusilaan.
Selain itu juga dirumuskan di RUU tahun 2005 dan 2008 tentang Tindak Pidana
Kesusilaan.
E.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Terkait dengan pornografi dan
pornoaksi ini, sejak tahun 2001 kaum ulama’ dalam hal ini diwakili oleh MUI
mengeluarkan fatwa menolak pornografi dan pornoaksi. Dasar-dasar yang digunakan MUI dalam menyusun
fatwa adalah:
1.
Ayat-ayat Al-Qur’an:
a. Surat Al-Isra’ ayat 32, melarang setiap orang mendekati zina.
b. Surat An-Nur ayat 30, mengatur tentang tata pergaulan dan
berbusana kaum laki-laki.
c. Surat An-Nur ayat 31, mengatur tentang tata pergaulan dan
berbusana kaum perempuan.
d. Surat Al-Ahzab ayat 59, memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW
agar kaum perempuan mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuhnya (tata busana)
agar mudah dikenal dan tidak diganggu.
e. Surat Al-Maidah ayat 2, memerintahkan agar setiap orang saling
tolong menolong dalam kebaikan dan takwa.
2.
Hadits-hadits Rasulullah SAW:
a. Hadits Rasulullah SAW yang melarang orang berpakaian tembus
pandang, erotis, sensual dan sejenisnya; hadits yang melarang perampuan
berpakaian tipis (transparan), diriwayatkan oleh Imam Malik dan juga
diriwayatkan Imam Ahmad.
b. Hadits yang melarang orang berpakaian tertentu, yaitu orang
laki-laki yang berpenampilan seperti tokoh dan singgah di masjid, tetapi
istrinya berpakaian telanjang, diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
c. Hadits yang melarang orang berkhalwat, diriwayatkan Imam Bukhari
dari Ibnu ‘Abbas, dan hadits tentang penghuni neraka diantara perempuan
berlenggak-lenggok menggoda atau memikat, mereka tidak akan masuk surga dan
tidak akan dapat mencium baunya surga, diriwayatkan Imam Muslim.
d. Hadits tentang batasan aurat perempuan dan melarang kaum
perempuan berpakaian tipis (transparan), diriwayatkan Imam Abu Daud.
3.
Kaidah ushul fiqh dan kaidah fiqh:
a. Kaidah ushul fiqh menyatakan bahwa: “semua hal yang dapat
menyebabkan terjadinya perbuatan haram adalah haram”.
b. Kaidah-kaidah fiqh:
1)
Menghindarkan mafsadat adalah
lebih didahulukan daripada mendatangkan maslahat.
2)
Segala mudharat dapat dihilangkan.
3)
Melihat pada sesuatu yang lahir
dari sesuatu yang haramadalah haram.
4)
Segala sesuatu yang lahir dari
sesuatu yang haram adalah haram.
Berdasarkan sumber-sumber hukum
dan kaidah ushul fiqh serta kaidah-kaidah fiqh, maka Majelis Ulama Indonesia
(MUI) memutuskan:
Pertama: Hukum
1.
Menggambarkan, secara langsung
atau tidak langsung, tingkah laku secara erotis, baik dengan lukisan, gambar,
tulisan, suara, reklame, iklan, maupun ucapan baik melalui media cetak maupun
elektronik yang dapat membangkitkan nafsu birahi adalah haram.
2.
Membiarkan aurat terbuka atau
berpakaian ketat atau tembus pandang dengan maksud untuk diambil gambarnya,
baik untuk dicetak atau divisualisasikan adalah haram.
3.
Melakukan pengambilan gambar
sebagaimana dimaksud angka 2 adalah haram.
4.
Melakukan hubungan seksual
atau adegan seksual di hadapan orang,
melakukan pengambilan gambar seksual atau adegan seksual, terhadap diri sendiri
maupun orang lain, dan melihat hubungan seksual atau adegan seksual adalah
haram.
5.
Memperbanyak, mengedarkan,
menjual, membeli dan melihat atau memperlihatkan gambar orang baik cetak atau
visual, orang yang terbuka auratnya atau berpakaian ketat atau tembus pandang yang
dapat membangkitkan nafsu birahi, atau gambar hubungan seksual atau adegan
seksual adalah haram.
6.
Berbuat intim, berdua-duaan antara
laki-laki dengan perempuan yang bukan mahromnya, perbuatan sejenis lainnya yang mendekati dan atau
mendorong melakukan hubungan seksual di luar pernikahan adalah haram.
7.
Memperlihatkan aurat, yakni bagian
tubuh antara pusar dan lutut bagi laki-laki serta seluruh bagian tubuh wanita
selain muka, telapak tangan, dan telapak kaki adalah haram, kecuali dalam
hal-hal yang dibenarkan secara syar’i.
8.
Memakai pakaian tembus pandang
atau ketat yang dapat memperlihatkan lekuk tubuh adalah haram.
9.
Melakukan suatu perbuatan atau
ucapan yang dapat mendorong terjadinya hubungan seksual di luar pernikahan atau
perbuatan sebagaimana dimaksud angka 6 adalah haram.
10. Membantu segala bentuknya dan atau membiarkan tanpa pengingkaran
perbuatan-perbuatan yang diharamkan adalah haram.
11. Memperoleh uang, manfaat, dan atau fasilitas dari
perbuatan-perbuatan yang diharamkan di atas adalah taermasuk haram.[11]
Kedua:
Rekomendasi
Berisi tentang desakan
kepada semua pihak agar ikut dalam menghentikan segala bentuk perbuatan yang
dilarang ini.
Ketiga: Ketentuan Penutup
Berisi
tentang pemberlakuan fatwa dan harapan kepada semua pihak untuk menyebarluaskan
fatwa ini.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
-
Pornografi didefinisikan sebagai
representasi eksplisit (gambar, tulisan, lukisan dan foto) dari aktivitas
seksual atau hal yang tidak senonoh, mesum atau cabul yang dimaksudkan untuk
dikomunikasi ke publik.
-
Sedangkan pornoaksi adalah sebuah
perbuatan memamerkan aurat yang digelar dan ditonton secara langsung dari mulai
aksi yang biasa-biasa saja seperti aksi para artis di panggung-panggung hiburan
umum hingga luar biasa dan atraktif seperti tarian telanjang atau setengah
telanjang di tempat-tempat hiburan khusus.
-
Banyak dampak negatif akibat
pornografi dan pornoaksi, salahsatunya
menyebabkan kecanduan yang membuat fikiran berorientasi pada hal-hal yang
berbau seks.
-
Hukum melakukan pornografi dan pornoaksi
adalah haram.
DAFTAR PUSTAKA
Aibak, Kutbuddin. 2009. Kajian Fiqh Kontemporer.
Yogyakarta: TERAS.
Djubaedah,
Neng. 2009. Pornografi dan Pornoaksi Ditinjau dari Hukum Islam. Jakarta:
Kencana.
Qardhawi,
Yusuf. 1995. Fatwa-Fatwa Kontemporer, jilid 2. Jakarta: Gema Insani
Press.
[1]
Kutbuddin Aibak, M.Hi, Kajian Fiqh Kontemporer, (Yogyakarta: TERAS,
2004), hal.4-5
[3]
Neng Djubaedah, S.H., M.H., Pornografi dan Pornoaksi Ditinjau dari Hukum
Islam, (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 172.
[4]
Kutbuddin Aibak, M.Hi, Kajian Fiqh Kontemporer, hal. 3.
[5] Ibid,
hal.4
[6] Ibid
[7]
Ibid, hal. 21-22
[8]
Dr. Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1995), hal.365
[9] Ibid,
hal 434-435.
[10]
Neng Djubaedah, S.H., M.H., Pornografi dan Pornoaksi Ditinjau dari Hukum
Islam, (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 142
[11]
Neng Djubaedah, S.H., M.H., Pornografi dan Pornoaksi Ditinjau dari Hukum
Islam, hal.10-13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar