PRINSIP HUBUNGAN MUSLIM DAN NON MUSLIM DALAM PANDANGAN ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR
BELAKANG MASALAH
Islam adalah agama universal yang ajarannya ditujukan bagi umat
manusia secara keseluruhan. Inti ajarannya selain memerintahkan penegakan
keadilan dan eliminasi kezaliman, juga meletakan pilar-pilar perdamaian yang
diiringi dengan himbauan kepada umat manusia agar hidup dalam suasana
persaudaraan dan toleransi tanpa memandang perbedaan ras, suku, bangsa dan
agama, karena manusia pada awalnya berasal dari asal yang sama. Firman Allah: “Hai
sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari
diri yang sama”[1] (Surat an-Nisa’, ayat 1)
Melalui ajaran dan pilar tadi, Islam mendorong para pengikutnya
agar bersikap tolerasi dengan pengikut agama dan bersikap positif terhadap
budaya, karena Allah Swt telah menjadikan manusia sebagai khalifah yang
mempunyai tanggung jawab kolektif untuk membangun bumi ini, baik secara moril
maupun materil. Firman Allah:“Dia (Allah) telah menciptakan kamu dari bumi
dan memberi kamu potensi untuk memakmurkan, mengembangkan dan memanfaatkan
kekayaannya…. " (Hud, ayat 61).
[1] Alih bahasa semua ayat Al-Qur’an dalam makalah ke
bahasa Indonesia memakai buku ‘al-Muntakhab fir Tafsir al-Qur’an al-Karim’,
diterbitkan oleh al-Majlis al-‘A’la li al-Syuun al-Islamiyah yang berada di
Kementerian Wakaf Republik Arab Mesir dalam rangka memperingati Hut 1000 tahun
Al-Azhar Al-Syarif, cetakan ke tujuh tahun 1983 M/1403 H.
BAB II
PEMBAHASAN
Hubungan tidak harmonis antara muslim dengan kelompok non muslim
telah melahirkan sejumlah salah pengertian, opini yang keliru dan pernyataan
yang berisi provokatif dan penyebar sikap kebencian dan permusuhan terhadap
Islam. Islam dituduh sebagai agama teroris, mengandung ajaran membunuh orang
secara membabi buta dan merupakan ancaman bagi keberlangsungan kebudayaan moderen.
Ini disebabkan pencambur-adukkan antara Islam sebagai agama yang berdasar Al
Qur’an dan Hadis dengan aksi segelintir orang Islam yang tidak bertanggung
jawab. Dari sini, terlihat urgensi topik prinsip hubungan muslim dan non muslim
dalam Islam untuk menjelaskan petunjuk Allah Swt dan UtusanNya nabi Muhammad
Saw tentang hal tersebut. Bagaimana para sabahat nabi dan umat Islam dari masa
ke masa menerapkan prinsip dan nilai Ilahi dalam menciptakan kehidupan yang
damai di tengah-tengah masyarakat yang berbeda agama, budaya, ras suku dan
bangsa.
Pengertian Non-muslim sangat sederhana, yaitu orang yang tidak
menganut agama Islam. Tentu saja
maksudnya tidak mengarah pada suatu kelompok agama saja, tapi akan mencakup
sejumlah agama dengan segala bentuk kepercayaan dan variasi ritualnya. Al
Qur’an menyebutkan kelompok non muslim ini secara umum spt terdapat dalam surat Al-Hajj, ayat 17.
dan surat
al-Jasiyah, ayat 24, sbb:
¨bÎ) tûïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä tûïÏ%©!$#ur
(#rß$yd tûüÏ«Î7»¢Á9$#ur
3t»|Á¨Y9$#ur }¨qàfyJø9$#ur
tûïÏ%©!$#ur (#þqà2uõ°r&
¨bÎ) ©!$#
ã@ÅÁøÿt óOßgoY÷t/
tPöqt ÏpyJ»uÉ)ø9$#
4 ¨bÎ)
©!$# 4n?tã
Èe@ä. &äóÓx«
îÍky ÇÊÐÈ
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shaabi-iin,
orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan
memberi Keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah
menyaksikan segala sesuatu”.
(#qä9$s%ur $tB
}Ïd wÎ)
$uZè?$uym $u÷R9$#
ßNqßJtR $uøtwUur
$tBur !$uZä3Î=ökç
wÎ) ã÷d¤$!$#
4 $tBur
Mçlm; y7Ï9ºxÎ/
ô`ÏB AOù=Ïæ
( ÷bÎ)
öLèe wÎ)
tbqZÝàt ÇËÍÈ
Dan mereka berkata: "Kehidupan Ini tidak lain hanyalah
kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan
membinasakan kita selain masa", dan mereka sekali-kali tidak mempunyai
pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.
Dalam ayat Al Qur’an tadi terdapat lima kelompok yang dikategorikan sebagai non
muslim, yaitu ash-Shabi’ah atau ash-Shabiin, al-Majus, al-Musyrikun,
al-Dahriyah atau al-Dahriyun dan Ahli Kitab. Masing-masing kelompok secara
ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut[1]:
Pertama Ash-Shabi’ah, yaitu kelompok yang mempercayai pengaruh
planet terhadap alam semesta.
Kedua Al-Majus, adalah para penyembah api yang mempercayai bahwa
jagat raya dikontrol oleh dua sosok Tuhan, yaitu Tuhan Cahaya dan Tuhan Gelap
yang masing-masingnya bergerak kepada yang baik dan yang jahat, yang bahagia
dan yang celaka dan seterusnya.
Ketiga Al-Musyrikun, kelompok yang mengakui ketuhanan Allah Swt,
tapi dalam ritual mempersekutukannya
dengan yang lain spt penyembahan berhala, matahari dan malaikat.
[1] Lihat lebih lanjut buku-buku tafsir spt Al-Qurtubi,
Al-Tabari, Ibnu Katsir yang menjelaskan lebih luas tentang pengertian kelompok
non muslim yang disebut dalam ayat tersebut. Selain itu, lihat pula buku
‘al-Mausu’ah al-Muyassarah fi al-adyan wa al-mazahib al-mu’ashirah’ yang
diterbitkan WAMY tahun 1988 dan ‘huriyah al-mu’taqad al-diiny li ghair
al-muslimin fi zhilal samahat al-Islam’ oleh Ali Abdul ‘al al-Syinawi.
Keempat yang disebut Al-Dahriyah, kelompok ini selain tidak
mengakui bahwa dalam Alam semesta ini ada yang mengaturnya, juga menolak adanya
Tuhan Pencipta. Menurut mereka alam ini eksis dengan sendirinya. Kelompok ini
agaknya identik dengan kaum atheis masa kini.
Kelima Ahli Kitab. Dalam hal ini terdapat dua pendapat ulama.
Pertama, mazhabi Hanafi berpendapat bahwa yang termasuk Ahli Kitab adalah orang
yang menganut salah satu agama Samawi yang mempunyai kitab suci spt Taurat,
Injil , Suhuf, Zabur dan lainnya. Tapi menurut Imam Syafii dan Hanbali,
pengertian Ahli Kitab terbatas pada kaum Yahudi dan Nasrani. Kelompok non
muslim ini disebut juga dengan Ahli Zimmah, yaitu komunitas Yahudi atau Nasrani
yang berdomisili di wilayah umat Islam dan mendapat perlindungan pemerintah
muslim.
Surat An-Nisak, ayat 1 (Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu
dari diri yang sama) merupakan penetapan nilai al-Ikhwah al-Insaniyah
(Persaudaraan kemanusiaan) yang dimaksud sebagai pedoman hubungan antar
kelompok manusia yang disebut Al Qur’an diatas. Nilai ini harus menjadi
landasan masalah multikulturisme, multiagama, multibahasa, multibangsa dan
pluralisme secara umum, karena Al-Qur’an menganggap perbedaan ras, suku, budaya
dan agama sebagai masalah alami (ketentuan Tuhan). Justeru itu, perbedaan tadi
tidak boleh dijadikan ukuran kemuliaan dan harga diri, tapi ukuran manusia
terbaik adalah ketaqwaan dan kesalehan sosial yang dilakukannya. Ini yang
dimaksud firman Tuhan dalam al-Hujurat ayat 13 sbb:
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$#
$¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz
`ÏiB 9x.s
4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur
$\/qãèä© @ͬ!$t7s%ur
(#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ)
ö/ä3tBtò2r& yYÏã
«!$# öNä39s)ø?r&
4 ¨bÎ)
©!$# îLìÎ=tã
×Î7yz ÇÊÌÈ
Persamaan
adalah prinsip mutlak dalam Islam dalam membina hubungan sesama manusia tanpa
beda spt ditegaskan Rasulullah Saw dalam hadis yang diriwayatkan Anas bin
Malik:
“(Asal usul) Manusia adalah sama, tidak obahnya spt gigi. Kelebihan
seseorang hanya terletak pada ketaqwaannya kepada Allah Swt.
Hadis diatas secara tegas menyatakan bahwa di depan kebenaran dan
hukum, semua harus dianggap sama dan terjamin kehormatan, harga diri dan
kebebasannya. Kelebihan seseorang hanya dilihat dari sejauh mana konsistensinya
terhadap kebenaran dan undang serta sebesar apa antusiasnya untuk berbuat
kebajikan dan menjauhi diri dari tindakan melanggar hukum, kejahatan dan
kezaliman.
Biografi Nabi Muhammad Saw mencatat implementasi prinsip persamaan
di atas seperti terlihat dari kasus Usamah bin Yazid. Usama yang dikenal
sebagai sahabat terdekat Rasulullah itu, mencoba memberikan dispensasi hukuman
bagi Fatimah binti al-Aswad al-Makhzumiyah yang tertangkap basah melakukan
tindakan kriminal mencuri. Rasulullah tersinggung dan marah, lalu berkata
kepada Usamah: “Umat terdahulu binasa lantaran bila kaum elit mereka
mencuri, dibebaskan, tapi bila kaum lemah yang mencuri, langsung diadili dan
dijatuhi sanksi. Demi Allah, kalau Fatimah putri Muhammad yang mencuri, pasti
saya potong tangannya (sebagai sanksi tindakan kriminilnya)”[2].
Dari sini, jelas bahwa pada zaman Rasulullah Saw persamaan adalah pilar utama
keadilan sosial.
Persamaan dan keadilan itu ibarat dua sisi uang logam yang bila
salah satu sisinya hilang, sisi yang lain tidak ada artinya. Stabilitas sosial
dan masyarakat tidak akan tercapai, bila keduanya menjadi sirna. Untuk itu,
merupakan suatu keharusan memberlakukan keadilan kepada semua pihak tanpa
melihat perbedaan status sosial. Prinsip inilah yang dilaksanakan Khalifah Umar
bin Khattab. Tanpa segan-segan, Umar memperjuangkan agar al-Fizari (rakyat
jelata) memperoleh keadilan atas tindakan melanggar hukum yang dilakukan
seorang raja terkenal (Jablah bin al-Aiham). Jablah bersama rombongan besar
berjumlah 500 orang yang penuh kemegahan, datang ke Mekkah. Pada waktu tawaf, ujung
jubbahnya terinjak oleh al-Fizari, lalu ia memukulnya sampai hidungnya cidera
berat. Al-Fizari mengadukan kejadian tsb
kepada Khalifah Umar untuk menuntut keadilan. Jablah dipanggil khalifah untuk
diminta keterangan tentang latar belakang pemukulan. Jablah memberi keterangan:
“Ia (al-Fizari) dengan sengaja menginjak jubahku. Kalau tidak untuk menghormati
Ka’bah ini, pedangku sudah membelah antara dua matanya”. Umar berkata: “Kalau
begitu, kamu mempunyai dua alternatif; laksanakan tuntutan al-Fizari dengan
suka rela atau dengan paksa”. Jablah bertanya: “Apa yang harus dilakukan?”.
Umar menjawab: “Biarkan al-Fizari menciderai hidungmu spt kamu menciderai
hidungnya”. Jablah berkata: “Bagaimana mungkin, hai Khalifah, ia adalah orang
biasa, sedangkan saya raja”. Umar menegaskan: “Menurut ajaran Islam, kamu dan
dia adalah sama. Kelebihan hanya pada tingkat ketaqwaan dan kebaikan yang
dilakukan”. Jablah: “Saya kira dalam Islam saya dianggap lebih mulia ketimbang
zaman Jahiliyah”. Umar: “Anggapan spt tidak perlu. Sekarang tinggal kamu pilih;
tegakkan keadilan dengan suka rela atau
dengan paksa”. Jablah: “Kalau begitu, saya pindah agama saja”. Umar: “Saya akan
jatuhkan sanksi yang lebih berat (hukuman pancung)”. Jablah minta tenggang
waktu sampai besok, namun tengah malam ia menyelinap dan melarikan diri ke
Konstantinopel. Disana ia hidup di bawah proteksi kaisar. Beberapa lama
kemudian, terdengar Jablah menyesal dan rindu kepada Islam yang ajarannya
menegaskan prinsip persamaan derajat dan keadilan mutlak[3].
Kasus Jablah ini menjadi bukti sejarah bahwa sahabat Rasulullah Saw
mengimplementasikan prinsip persamaan dan keadilan. Menurut ajaran Islam, siapa
saja harus memperoleh keadilan, baik raja maupun rakyat jelata, atasan atau
bawahan, dan muslim atau non muslim, karena manusia adalah sama.
Dalam konteks hubungan dengan non-Muslim, Islam selain menetapkan
persamaan dan keadilan sebagai dasar utamanya, juga menegaskan prinsip tolerasi
yang tidak kalah pentingnya dengan prinsip persamaan dan keadilan. Kalau
dilihat kata toleransi yang dalam bahasa Arab disebut ‘at-Tasamuh’ dari aspek
etimologis, artinya al-jud (kualitas), al-bazl (upaya), al-I;tha (memberi),
al-suhulah (spontan), al-yusr (kemudahan) dan al-bu’d ‘an al-dhaiq wa
al-syiddah (jauh dari kesempitan dan kekerasan). Ringkasnya at-tasamuh adalah
interaksi dengan orang lain dengan penuh kemudahan, kelonggaran dan kerelaan,
baik dalam aksi suka atau tidak suka[4].
Sikap toleransi luar biasa yang ditunjukkan Rasulullah terlihat
ketika perjanjian Hudaibiyah yang antara lainnya berisi peryaratan kaum Quraiys
yang sangat tidak fair, yaitu umat Islam yang datang kembali ke pangkuan
Quraisy (kembali kepada musyrik), tidak dipermasalahkan dan tidak disuruh
kembali. Bila seorang muslim datang kepada Nabi tanpa seizin walinya (yang
berwenang), harus dikembalikan. Perjanjian yang hanya menguntungkan pihak
musyrik, diterima nabi Muhammad Saw, bahkan ada sahabat Nabi tidak sependapat
waktu itu. Baru saja selesai penanda-tanganan perjanjian dimaksud, langsung
datang ujian berat dalam pelaksanaannya. Jundul bin Sahal, seorang muslim yang
melarikan diri dari kabilahnya, datang kepada Rasulullah Saw, dengan perkiraan
akan diterima, dengan alasan bila kembali pasti disiksa oleh kabilahnya. Namun
Rasulullah menepati perjanjian dan mengembalikan Ibnu Sahal dan berkata kepada:
“Bersabar dan Ikhlas, Allah Swt pasti memberikan solusi dan jalan keluar bagimu
dan orang yang tidak berdaya sptmu. Sudah disepakati perjanjian dengan kabilah
tentang itu, kita tidak boleh melanggar perjanjian itu[5].
Sikap toleransi Rasulullah terhadap mantan musuh yang dahulunya
memperlakukan Nabi secara tidak manusiawi, juga menjadi bukti sejarah atas
komitmen untuk tetap dalam koridor prinsip toleransi yang ditetapkan Al-Qur’an.
Ketika kota
Mekkah ditaklukan dan Rasulullah memasuki kota
tersebut sebagai pemimpin yang menang dalam peperangan, bertanya kepada kaum
Quraisy: “Kira-kira tindakan apa yang akan aku lakukan kepada kalian?. Mereka
menjawab: “Kebaikan, saudara kami atau anak saudara kami”. Rasulullah bersabda:
“Silahkan pergi, kalian bebas. Kesalahan kalian dimaafkan. Mudah-mudahan Allah
Swt memberi ampunan bagi kalian, karena Dia Maha Pengampun”[6].
Bahkan untuk menghormati hubungan yang berdasarkan persaudaraan
kemanusiaan dan prinsip tolerasitadi, Allah Swt melarang umat Islam melukai
perasaan non-muslim, dengan mencela ajaran agama, meskipun animisme spt
dimaksud dalam Al Qur’an dalam al-An’am, ayat 108.
wur (#q7Ý¡n@
úïÏ%©!$# tbqããôt
`ÏB Èbrß
«!$# (#q7Ý¡usù
©!$# #Jrôtã
ÎötóÎ/ 5Où=Ïæ
3 y7Ï9ºxx.
$¨Yy Èe@ä3Ï9
>p¨Bé& óOßgn=uHxå
.
Janganlah kamu memaki patung-patung yang disembah kaum musyrik
selain Allah. Perbuatan spt ini dapat memancing kemaraham mereka dengan memaki
Allah dengan semena-mena dan melampaui batas. Sembahan patung-patung sebagai
contoh bahwa setiap umat berbuat sesuai dengan tingkat kesiapan mereka.
Sejalan dengan itu, Yusuf al-Qardhawi berpendapat bahwa istilah
‘kafir’ dan ‘musyrik’ sudah waktunya diganti dengan sebutan ‘non-muslim’,
sehingga dengan persaudaraan kemanusian tercipta perdamaian abadi di kalangan
umat beragama.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Prinsip hubungan muslim dengan orang lain dijelaskan Allah Swt
dalam Al Qur’an dan melalui UtusanNya nabi Muhammad Saw, dimana harus terjalin
atas dasar nilai persamaan, toleransi, keadilan, kemerdekaan, dan persaudaraan
kemanusiaan (al-ikhwah al-insaniyah). Nilai-nilai Qur’ani inilah yang
direkomendasikan Islam sebagai landasan utama bagi hubungan kemanusiaan yang
berlatar belakang perbedaan ras, suku bangsa, agama, bahasa dan budaya. Karena
nilai-nilai Qur’ani diatas terkait dengan hubungan muslim dengan non muslim,
[1] يختلف
العلماء فى الحكم على هذا الحديث، أنظر لفردوس بمأثور الخطاب ج: 4 ص: 301، و كشف الخفاء ج: 2 ص: 433
[2] Hadis Riwayat Bukhari, Muslim, Abu Daud, at-Tarmizi,
an-Nasa’I dan Ibnu Majah. Lihat lebih lanjut buku “al-Targhib wa al-Tarhib min
al-Hadits al-Syarif” (Himbauan dan
Peringatan dari Hadis yang mulia) karangan al-Munziri (Abdul ‘Azhim bin Abdul
Qawi Abu Muhammad, wafat 656 H), hal. 3/173, Tahqiq Ibrahim Syamsuddin, Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, tahun 1417H.
[3] الأصفهاني (أبي الفرج/ت356هـ)، " الأغاني"،تحقيق سمير جابر، دار الفكر، بيروت، ج: 15 ص: 159 و
العمادي (عبدالرحمن بن محمد عمادالدين بن محمد/ت 1051هـ)، " الروضة الريا
فيمن دفن بداريا"، تحقيق عبده علي
الكوشك، دار المأمون للتراث، دمشق، 1988، ج:
1 ص: 63. وأنظر أيضا إسلام بلا مذاهب للدكتور مصطفى الشعكة، ص 56.
[4] أ.د.
أحمد عبد المبدي أحمد النجمي، "سماحة الإسلام فى الجانب
الاجتماعى"، من ضمن سلسلة فكر المواجهة
(13) أصدرتها رابطة الجامعات الإسلامية، سنة 2005، ص 23
[5] Lihat Sirah Ibnu Hisyam, tahqiq Taha Abd al-Rauf
Sa’ad, cetakan al-Kuliyyah al-Azhariyah, Cairo yang dirujuk oleh Walid abd
Majid dalam al-Tasamuh al-Islami (baina nazaiyah wa tatbiq).
[6] Yusuf bin Abdulllah bin Abdel Bar, Al-isti’ab’, tahqiq
Ali Muhammad, Darul al-Jail, Beirut, hal. 4/1674.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar