Selasa, 27 November 2012

MAKALAH AKHLAK


PRINSIP HUBUNGAN MUSLIM DAN NON MUSLIM DALAM PANDANGAN ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG MASALAH
Islam adalah agama universal yang ajarannya ditujukan bagi umat manusia secara keseluruhan. Inti ajarannya selain memerintahkan penegakan keadilan dan eliminasi kezaliman, juga meletakan pilar-pilar perdamaian yang diiringi dengan himbauan kepada umat manusia agar hidup dalam suasana persaudaraan dan toleransi tanpa memandang perbedaan ras, suku, bangsa dan agama, karena manusia pada awalnya berasal dari asal yang sama. Firman Allah: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang sama[1]  (Surat an-Nisa’, ayat 1)
Melalui ajaran dan pilar tadi, Islam mendorong para pengikutnya agar bersikap tolerasi dengan pengikut agama dan bersikap positif terhadap budaya, karena Allah Swt telah menjadikan manusia sebagai khalifah yang mempunyai tanggung jawab kolektif untuk membangun bumi ini, baik secara moril maupun materil. Firman Allah:“Dia (Allah) telah menciptakan kamu dari bumi dan memberi kamu potensi untuk memakmurkan, mengembangkan dan memanfaatkan kekayaannya…. " (Hud, ayat 61).



[1] Alih bahasa semua ayat Al-Qur’an dalam makalah ke bahasa Indonesia memakai buku ‘al-Muntakhab fir Tafsir al-Qur’an al-Karim’, diterbitkan oleh al-Majlis al-‘A’la li al-Syuun al-Islamiyah yang berada di Kementerian Wakaf Republik Arab Mesir dalam rangka memperingati Hut 1000 tahun Al-Azhar Al-Syarif, cetakan ke tujuh tahun 1983 M/1403 H.


BAB II
PEMBAHASAN
Hubungan tidak harmonis antara muslim dengan kelompok non muslim telah melahirkan sejumlah salah pengertian, opini yang keliru dan pernyataan yang berisi provokatif dan penyebar sikap kebencian dan permusuhan terhadap Islam. Islam dituduh sebagai agama teroris, mengandung ajaran membunuh orang secara membabi buta dan merupakan ancaman bagi keberlangsungan kebudayaan moderen. Ini disebabkan pencambur-adukkan antara Islam sebagai agama yang berdasar Al Qur’an dan Hadis dengan aksi segelintir orang Islam yang tidak bertanggung jawab. Dari sini, terlihat urgensi topik prinsip hubungan muslim dan non muslim dalam Islam untuk menjelaskan petunjuk Allah Swt dan UtusanNya nabi Muhammad Saw tentang hal tersebut. Bagaimana para sabahat nabi dan umat Islam dari masa ke masa menerapkan prinsip dan nilai Ilahi dalam menciptakan kehidupan yang damai di tengah-tengah masyarakat yang berbeda agama, budaya, ras suku dan bangsa.
Pengertian Non-muslim sangat sederhana, yaitu orang yang tidak menganut agama Islam. Tentu  saja maksudnya tidak mengarah pada suatu kelompok agama saja, tapi akan mencakup sejumlah agama dengan segala bentuk kepercayaan dan variasi ritualnya. Al Qur’an menyebutkan kelompok non muslim ini secara umum spt terdapat dalam surat Al-Hajj, ayat 17. dan surat al-Jasiyah, ayat 24, sbb:
¨bÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä tûïÏ%©!$#ur (#rߊ$yd tûüÏ«Î7»¢Á9$#ur 3t»|Á¨Y9$#ur }¨qàfyJø9$#ur tûïÏ%©!$#ur (#þqà2uŽõ°r& ¨bÎ) ©!$# ã@ÅÁøÿtƒ óOßgoY÷t/ tPöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# 4 ¨bÎ) ©!$# 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« îÍky­ ÇÊÐÈ
            “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shaabi-iin, orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi Keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu”.
(#qä9$s%ur $tB }Ïd žwÎ) $uZè?$uŠym $u÷R9$# ßNqßJtR $uøtwUur $tBur !$uZä3Î=ökç žwÎ) ã÷d¤$!$# 4 $tBur Mçlm; y7Ï9ºxÎ/ ô`ÏB AOù=Ïæ ( ÷bÎ) öLèe žwÎ) tbqZÝàtƒ ÇËÍÈ
Dan mereka berkata: "Kehidupan Ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa", dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.
Dalam ayat Al Qur’an tadi terdapat lima kelompok yang dikategorikan sebagai non muslim, yaitu ash-Shabi’ah atau ash-Shabiin, al-Majus, al-Musyrikun, al-Dahriyah atau al-Dahriyun dan Ahli Kitab. Masing-masing kelompok secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut[1]:
Pertama Ash-Shabi’ah, yaitu kelompok yang mempercayai pengaruh planet terhadap alam semesta.
Kedua Al-Majus, adalah para penyembah api yang mempercayai bahwa jagat raya dikontrol oleh dua sosok Tuhan, yaitu Tuhan Cahaya dan Tuhan Gelap yang masing-masingnya bergerak kepada yang baik dan yang jahat, yang bahagia dan yang celaka dan seterusnya.
Ketiga Al-Musyrikun, kelompok yang mengakui ketuhanan Allah Swt, tapi  dalam ritual mempersekutukannya dengan yang lain spt penyembahan berhala, matahari dan malaikat.



[1] Lihat lebih lanjut buku-buku tafsir spt Al-Qurtubi, Al-Tabari, Ibnu Katsir yang menjelaskan lebih luas tentang pengertian kelompok non muslim yang disebut dalam ayat tersebut. Selain itu, lihat pula buku ‘al-Mausu’ah al-Muyassarah fi al-adyan wa al-mazahib al-mu’ashirah’ yang diterbitkan WAMY tahun 1988 dan ‘huriyah al-mu’taqad al-diiny li ghair al-muslimin fi zhilal samahat al-Islam’ oleh Ali Abdul ‘al al-Syinawi.


Keempat yang disebut Al-Dahriyah, kelompok ini selain tidak mengakui bahwa dalam Alam semesta ini ada yang mengaturnya, juga menolak adanya Tuhan Pencipta. Menurut mereka alam ini eksis dengan sendirinya. Kelompok ini agaknya identik dengan kaum atheis masa kini.
Kelima Ahli Kitab. Dalam hal ini terdapat dua pendapat ulama. Pertama, mazhabi Hanafi berpendapat bahwa yang termasuk Ahli Kitab adalah orang yang menganut salah satu agama Samawi yang mempunyai kitab suci spt Taurat, Injil , Suhuf, Zabur dan lainnya. Tapi menurut Imam Syafii dan Hanbali, pengertian Ahli Kitab terbatas pada kaum Yahudi dan Nasrani. Kelompok non muslim ini disebut juga dengan Ahli Zimmah, yaitu komunitas Yahudi atau Nasrani yang berdomisili di wilayah umat Islam dan mendapat perlindungan pemerintah muslim.
Surat An-Nisak, ayat 1 (Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang sama) merupakan penetapan nilai al-Ikhwah al-Insaniyah (Persaudaraan kemanusiaan) yang dimaksud sebagai pedoman hubungan antar kelompok manusia yang disebut Al Qur’an diatas. Nilai ini harus menjadi landasan masalah multikulturisme, multiagama, multibahasa, multibangsa dan pluralisme secara umum, karena Al-Qur’an menganggap perbedaan ras, suku, budaya dan agama sebagai masalah alami (ketentuan Tuhan). Justeru itu, perbedaan tadi tidak boleh dijadikan ukuran kemuliaan dan harga diri, tapi ukuran manusia terbaik adalah ketaqwaan dan kesalehan sosial yang dilakukannya. Ini yang dimaksud firman Tuhan dalam al-Hujurat ayat 13 sbb:
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.sŒ 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© Ÿ@ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ׎Î7yz ÇÊÌÈ
Persamaan adalah prinsip mutlak dalam Islam dalam membina hubungan sesama manusia tanpa beda spt ditegaskan Rasulullah Saw dalam hadis yang diriwayatkan Anas bin Malik:
" الناس مستوون كاسنان المشط  ليس لاحد على أحد فضل الا بتقوى الله"[1] 
“(Asal usul) Manusia adalah sama, tidak obahnya spt gigi. Kelebihan seseorang hanya terletak pada ketaqwaannya kepada Allah Swt.
Hadis diatas secara tegas menyatakan bahwa di depan kebenaran dan hukum, semua harus dianggap sama dan terjamin kehormatan, harga diri dan kebebasannya. Kelebihan seseorang hanya dilihat dari sejauh mana konsistensinya terhadap kebenaran dan undang serta sebesar apa antusiasnya untuk berbuat kebajikan dan menjauhi diri dari tindakan melanggar hukum, kejahatan dan kezaliman.
Biografi Nabi Muhammad Saw mencatat implementasi prinsip persamaan di atas seperti terlihat dari kasus Usamah bin Yazid. Usama yang dikenal sebagai sahabat terdekat Rasulullah itu, mencoba memberikan dispensasi hukuman bagi Fatimah binti al-Aswad al-Makhzumiyah yang tertangkap basah melakukan tindakan kriminal mencuri. Rasulullah tersinggung dan marah, lalu berkata kepada Usamah: “Umat terdahulu binasa lantaran bila kaum elit mereka mencuri, dibebaskan, tapi bila kaum lemah yang mencuri, langsung diadili dan dijatuhi sanksi. Demi Allah, kalau Fatimah putri Muhammad yang mencuri, pasti saya potong tangannya (sebagai sanksi tindakan kriminilnya)”[2]. Dari sini, jelas bahwa pada zaman Rasulullah Saw persamaan adalah pilar utama keadilan sosial.
Persamaan dan keadilan itu ibarat dua sisi uang logam yang bila salah satu sisinya hilang, sisi yang lain tidak ada artinya. Stabilitas sosial dan masyarakat tidak akan tercapai, bila keduanya menjadi sirna. Untuk itu, merupakan suatu keharusan memberlakukan keadilan kepada semua pihak tanpa melihat perbedaan status sosial. Prinsip inilah yang dilaksanakan Khalifah Umar bin Khattab. Tanpa segan-segan, Umar memperjuangkan agar al-Fizari (rakyat jelata) memperoleh keadilan atas tindakan melanggar hukum yang dilakukan seorang raja terkenal (Jablah bin al-Aiham). Jablah bersama rombongan besar berjumlah 500 orang yang penuh kemegahan, datang ke Mekkah. Pada waktu tawaf, ujung jubbahnya terinjak oleh al-Fizari, lalu ia memukulnya sampai hidungnya cidera berat.  Al-Fizari mengadukan kejadian tsb kepada Khalifah Umar untuk menuntut keadilan. Jablah dipanggil khalifah untuk diminta keterangan tentang latar belakang pemukulan. Jablah memberi keterangan: “Ia (al-Fizari) dengan sengaja menginjak jubahku. Kalau tidak untuk menghormati Ka’bah ini, pedangku sudah membelah antara dua matanya”. Umar berkata: “Kalau begitu, kamu mempunyai dua alternatif; laksanakan tuntutan al-Fizari dengan suka rela atau dengan paksa”. Jablah bertanya: “Apa yang harus dilakukan?”. Umar menjawab: “Biarkan al-Fizari menciderai hidungmu spt kamu menciderai hidungnya”. Jablah berkata: “Bagaimana mungkin, hai Khalifah, ia adalah orang biasa, sedangkan saya raja”. Umar menegaskan: “Menurut ajaran Islam, kamu dan dia adalah sama. Kelebihan hanya pada tingkat ketaqwaan dan kebaikan yang dilakukan”. Jablah: “Saya kira dalam Islam saya dianggap lebih mulia ketimbang zaman Jahiliyah”. Umar: “Anggapan spt tidak perlu. Sekarang tinggal kamu pilih; tegakkan keadilan dengan  suka rela atau dengan paksa”. Jablah: “Kalau begitu, saya pindah agama saja”. Umar: “Saya akan jatuhkan sanksi yang lebih berat (hukuman pancung)”. Jablah minta tenggang waktu sampai besok, namun tengah malam ia menyelinap dan melarikan diri ke Konstantinopel. Disana ia hidup di bawah proteksi kaisar. Beberapa lama kemudian, terdengar Jablah menyesal dan rindu kepada Islam yang ajarannya menegaskan prinsip persamaan derajat dan keadilan mutlak[3].
Kasus Jablah ini menjadi bukti sejarah bahwa sahabat Rasulullah Saw mengimplementasikan prinsip persamaan dan keadilan. Menurut ajaran Islam, siapa saja harus memperoleh keadilan, baik raja maupun rakyat jelata, atasan atau bawahan, dan muslim atau non muslim, karena manusia adalah sama.
Dalam konteks hubungan dengan non-Muslim, Islam selain menetapkan persamaan dan keadilan sebagai dasar utamanya, juga menegaskan prinsip tolerasi yang tidak kalah pentingnya dengan prinsip persamaan dan keadilan. Kalau dilihat kata toleransi yang dalam bahasa Arab disebut ‘at-Tasamuh’ dari aspek etimologis, artinya al-jud (kualitas), al-bazl (upaya), al-I;tha (memberi), al-suhulah (spontan), al-yusr (kemudahan) dan al-bu’d ‘an al-dhaiq wa al-syiddah (jauh dari kesempitan dan kekerasan). Ringkasnya at-tasamuh adalah interaksi dengan orang lain dengan penuh kemudahan, kelonggaran dan kerelaan, baik dalam aksi suka atau tidak suka[4].
Sikap toleransi luar biasa yang ditunjukkan Rasulullah terlihat ketika perjanjian Hudaibiyah yang antara lainnya berisi peryaratan kaum Quraiys yang sangat tidak fair, yaitu umat Islam yang datang kembali ke pangkuan Quraisy (kembali kepada musyrik), tidak dipermasalahkan dan tidak disuruh kembali. Bila seorang muslim datang kepada Nabi tanpa seizin walinya (yang berwenang), harus dikembalikan. Perjanjian yang hanya menguntungkan pihak musyrik, diterima nabi Muhammad Saw, bahkan ada sahabat Nabi tidak sependapat waktu itu. Baru saja selesai penanda-tanganan perjanjian dimaksud, langsung datang ujian berat dalam pelaksanaannya. Jundul bin Sahal, seorang muslim yang melarikan diri dari kabilahnya, datang kepada Rasulullah Saw, dengan perkiraan akan diterima, dengan alasan bila kembali pasti disiksa oleh kabilahnya. Namun Rasulullah menepati perjanjian dan mengembalikan Ibnu Sahal dan berkata kepada: “Bersabar dan Ikhlas, Allah Swt pasti memberikan solusi dan jalan keluar bagimu dan orang yang tidak berdaya sptmu. Sudah disepakati perjanjian dengan kabilah tentang itu, kita tidak boleh melanggar perjanjian itu[5].
Sikap toleransi Rasulullah terhadap mantan musuh yang dahulunya memperlakukan Nabi secara tidak manusiawi, juga menjadi bukti sejarah atas komitmen untuk tetap dalam koridor prinsip toleransi yang ditetapkan Al-Qur’an. Ketika kota Mekkah ditaklukan dan Rasulullah memasuki kota tersebut sebagai pemimpin yang menang dalam peperangan, bertanya kepada kaum Quraisy: “Kira-kira tindakan apa yang akan aku lakukan kepada kalian?. Mereka menjawab: “Kebaikan, saudara kami atau anak saudara kami”. Rasulullah bersabda: “Silahkan pergi, kalian bebas. Kesalahan kalian dimaafkan. Mudah-mudahan Allah Swt memberi ampunan bagi kalian, karena Dia Maha Pengampun”[6].
Bahkan untuk menghormati hubungan yang berdasarkan persaudaraan kemanusiaan dan prinsip tolerasitadi, Allah Swt melarang umat Islam melukai perasaan non-muslim, dengan mencela ajaran agama, meskipun animisme spt dimaksud dalam Al Qur’an dalam al-An’am, ayat 108.


Ÿwur (#q7Ý¡n@ šúïÏ%©!$# tbqããôtƒ `ÏB Èbrߊ «!$# (#q7Ý¡uŠsù ©!$# #Jrôtã ÎŽötóÎ/ 5Où=Ïæ 3 y7Ï9ºxx. $¨Y­ƒy Èe@ä3Ï9 >p¨Bé& óOßgn=uHxå .
Janganlah kamu memaki patung-patung yang disembah kaum musyrik selain Allah. Perbuatan spt ini dapat memancing kemaraham mereka dengan memaki Allah dengan semena-mena dan melampaui batas. Sembahan patung-patung sebagai contoh bahwa setiap umat berbuat sesuai dengan tingkat kesiapan mereka.
Sejalan dengan itu, Yusuf al-Qardhawi berpendapat bahwa istilah ‘kafir’ dan ‘musyrik’ sudah waktunya diganti dengan sebutan ‘non-muslim’, sehingga dengan persaudaraan kemanusian tercipta perdamaian abadi di kalangan umat beragama.

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Prinsip hubungan muslim dengan orang lain dijelaskan Allah Swt dalam Al Qur’an dan melalui UtusanNya nabi Muhammad Saw, dimana harus terjalin atas dasar nilai persamaan, toleransi, keadilan, kemerdekaan, dan persaudaraan kemanusiaan (al-ikhwah al-insaniyah). Nilai-nilai Qur’ani inilah yang direkomendasikan Islam sebagai landasan utama bagi hubungan kemanusiaan yang berlatar belakang perbedaan ras, suku bangsa, agama, bahasa dan budaya. Karena nilai-nilai Qur’ani diatas terkait dengan hubungan muslim dengan non muslim,



[1]  يختلف العلماء فى الحكم على هذا الحديث، أنظر  لفردوس بمأثور الخطاب ج: 4 ص: 301، و كشف الخفاء ج: 2 ص: 433
[2] Hadis Riwayat Bukhari, Muslim, Abu Daud, at-Tarmizi, an-Nasa’I dan Ibnu Majah. Lihat lebih lanjut buku “al-Targhib wa al-Tarhib min al-Hadits al-Syarif”  (Himbauan dan Peringatan dari Hadis yang mulia) karangan al-Munziri (Abdul ‘Azhim bin Abdul Qawi Abu Muhammad, wafat 656 H), hal. 3/173, Tahqiq Ibrahim Syamsuddin, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, tahun 1417H.
[3]  الأصفهاني (أبي الفرج/ت356هـ)، " الأغاني"،تحقيق  سمير جابر، دار الفكر، بيروت، ج: 15 ص: 159 و العمادي (عبدالرحمن بن محمد عمادالدين بن محمد/ت 1051هـ)، " الروضة الريا فيمن دفن بداريا"، تحقيق  عبده علي الكوشك،  دار المأمون للتراث، دمشق، 1988، ج: 1 ص: 63. وأنظر أيضا إسلام بلا مذاهب للدكتور مصطفى الشعكة، ص 56.
[4]  أ.د. أحمد عبد المبدي أحمد النجمي، "سماحة الإسلام فى الجانب الاجتماعى"،  من ضمن سلسلة فكر المواجهة (13) أصدرتها رابطة الجامعات الإسلامية، سنة 2005، ص 23
[5] Lihat Sirah Ibnu Hisyam, tahqiq Taha Abd al-Rauf Sa’ad, cetakan al-Kuliyyah al-Azhariyah, Cairo yang dirujuk oleh Walid abd Majid dalam al-Tasamuh al-Islami (baina nazaiyah wa tatbiq).
[6] Yusuf bin Abdulllah bin Abdel Bar, Al-isti’ab’, tahqiq Ali Muhammad, Darul al-Jail, Beirut, hal. 4/1674.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar