PENDAHULUAN
Ushul fiqh
merupakan komponen utama dalam menghasilkan produk fiqh, karena ushul fiqh
adalah ketentuan atau kaidah yang harus digunakan oleh para mujtahid dalam
menghasilkan fiqh. Namun dalam penyusunannya ilmu fiqh dilakukan lebih dahulu
daripada ilmu ushul fiqh. Secara embrional ushul fiqh telah ada bahkan ketika
Rasulullah masih hidup, hal ini didasari dengan hadits yang meriwayatkan bahwa
Rasulullah pernah bertanya kepada Muadz bin Jabal ketika diutus untuk menjadi
gubernur di Yaman tentang apa yang akan dilakukan apabila dia harus menetapkan
hukum sedangkan dia tidak menemukan hukumnya dalam
al-Qur’an maupun as-Sunah, kemudian Muadz bin Jabal menjawab dalam pertanyaan terakhir ini bahwa dia akan menetapkan hukum melalui
ijtihadnya, dan ternyata jawaban Muadz tersebut mendapat pengakuan dari
Rasulullah. Dari cerita singkat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
Rasulullah pada masanya telah mempersiapkan para sahabat agar mempunyai
alternatif cara pengambilan hukum apabila mereka tidak menemukannya dalam al-Qur’an maupun as-Sunah. Namun pada masa
inibelum sampai kepada perumusan dan prakteknya, karena
apabila para sahabat tidak menemukan hukum
dalam al-Qur’an mereka dapat langsung menanyakan pada Rasulullah. Berdasarkan uraian di atas diperlukan sekali adanya pemahaman
tentang hukum-hukum dalam Islam yang sesuai dengan hal sejarah pertumbuhan dan
perkembangan Islam. Supaya tidak terjadi simpang siur tentang sejarah penetapan
hukum Islam. Dengan demikian diharapkan tidak terjadinya kesulitan didalam
pemahaman sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam. Setelah melakukan
penelitian kami merasa terdorong untuk mengulangi lebih lanjut masalah sejarah
itu sesuai dengan hasil dan kemampuan.
Pengertian Ushul Fiqh
Pengertian Ushul Fiqh dapat dilihat
sebagai rangkaian dari dua buah kata, yaitu : kata Ushul dan
kata Fiqh; dan dapat dilihat pula sebagai nama satu bidang ilmu
dari ilmu-ilmu Syari'ah.
Dilihat dari tata bahasa (Arab),
rangkaian kata Ushul dan kata Fiqhtersebut
dinamakan dengan tarkib idlafah, sehingga dari rangkaian dua buah
kata itu memberi pengertian ushul bagi fiqh.
Kata Ushul adalah bentuk jamak dari kata ashl yang
menurut bahasa, berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi yang lain.
Berdasarkan pengertian Ushul menurut bahasa tersebut, maka Ushul Fiqh berartisesuatu
yang dijadikan dasar bagi fiqh.
Menurut
Istitah yang digunakan oleh para ahli Ushul Fiqh ini, Ushul Fiqh itu
ialah, suatu ilmu yang membicarakan berbagai ketentuan dan kaidah yang
dapat digunakan dalam menggali dan merumuskan hukum syari'at Islam dari
sumbernya. Dalam pemakaiannya, kadang-kadang ilmu ini digunakan untuk
menetapkan dalil bagi sesuatu hukum; kadang-kadang untuk menetapkan hukum
dengan mempergunakan dalil Ayat-ayat Al-Our'an dan Sunnah Rasul yang
berhubungan dengan perbuatan mukallaf, dirumuskan berbentuk "hukum Fiqh"
(ilmu Fiqh) supaya dapat diamalkan dengan mudah. Demikian pula peristiwa yang
terjadi atau sesuatu yang ditemukan dalam kehidupan dapat ditentukan hukum atau
statusnya dengan mempergunakan dalil.
Yang menjadi obyek utama dalam
pembahasan Ushul Fiqh ialah Adillah Syar'iyah (dalil-dalil
syar'i) yang merupakan sumber hukum dalam ajaran Islam. Selain dari
membicarakan pengertian dan kedudukannya dalam hukum Adillah Syar'iyah itu
dilengkapi dengan berbagai ketentuan dalam merumuskan hukum dengan
mempergunakan masing-masing dalil itu.
Topik-topik dan ruang lingkup yang
dibicarakan dalam pembahasan ilmu Ushul Fiqh ini meliputi:
a.
|
Bentuk-bentuk
dan macam-macam hukum, seperti hukum taklifi(wajib,
sunnat, mubah, makruh, haram)
dan hukum wadl'i (sabab, syarat, mani', 'illat, shah, batal,
azimah dan rukhshah)
|
b.
|
Masalah perbuatan seseorang yang akan dikenal hukum (mahkum
fihi) seperti apakah perbuatan itu sengaja atau tidak, dalam kemampuannya
atau tidak, menyangkut hubungan dengan manusia atau Tuhan, apa dengan kemauan
sendiri atau dipaksa, dan sebagainya.
|
c.
|
Pelaku suatu perbuatan yang akan dikenai hukum (mahkum
'alaihi) apakah pelaku itu mukallaf atau tidak, apa sudah cukup syarat
taklif padanya atau tidak, apakah orang itu ahliyah atau bukan, dan
sebagainya.
|
d.
|
Keadaan atau sesuatu yang menghalangi berlakunya hukum
ini meliputi keadaan yang disebabkan oleh usaha manusia, keadaan yang sudah
terjadi tanpa usaha manusia yang pertama disebut awarid muktasabah,
yang kedua disebut awarid samawiyah.
|
e.
|
Masalah istinbath dan istidlal meliputi
makna zhahir nash, takwil dalalah lafazh, mantuq dan mafhum yang beraneka
ragam, 'am dan khas, muthlaq dan muqayyad, nasikh dan mansukh, dan
sebagainya.
|
f.
|
Masalah ra'yu, ijtihad, ittiba' dan taqlid;
meliputi kedudukan rakyu dan batas-batas penggunannya, fungsi dan kedudukan
ijtihad, syarat-syarat mujtahid, bahaya taqlid dan sebagainya.
|
g.
|
Masalah adillah syar'iyah, yang meliputi
pembahasan Al-Qur'an, As-Sunnah, ijma', qiyas, istihsan, istishlah,
istishhab, mazhabus shahabi, al-'urf, syar'u man qablana, bara'atul ashliyah,
sadduz zari'ah, maqashidus syari'ah/ususus syari'ah.
|
h.
|
Masa'ah rakyu dan qiyas;
meliputi. ashal, far'u, illat, masalikul illat, al-washful munasib, as-sabru
wat taqsim, tanqihul manath, ad-dauran, as-syabhu, ilghaul fariq; dan
selanjutnya dibicarakan masalah ta'arudl wat tarjih dengan
berbagai bentuk dan penyelesaiannya.
|
BAB I
Mahkum Fih
A.
Pengertian Mahkum Fih
Yaitu perbuatan orang mukallaf yang terkait dengan titah Syari’ (Allah
dan Rasulnya) yang bersifat tuntutan mengerjakan suatu perbuatan, tuntutan
meninggalkan suatu perbuatan, memilih suatu perbuatan dan yang bersifat syarat,
sebab, halangan, azimah, rukhshah, sah dan batal
B.
Syarat-syarat Mahkum Fih
1. Mukallaf
mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, tentang rukun, syarat dan tata
caranya2. Mukallaf harus mengetahui sumber taklif, yaitu Allah. Suatu perintah shalat misalnya adalah perintah Allah Swt
3. Perbuatan mungkin dilaksanakan
C.
Macam-macam mahkum Fih
Dilihat dari segi keberadaanya
secara material dan syara, mahkum fih terdiri dari 4 macam :
1. Perbuatan
yang ada secara material, tetapi tidak terkait dengan syara (tidak menimbulkan
akibat hukum syara), seperti makan dan minum
2. Perbuatan
yang ada secara material, tetapi menjadi sebab adanya hukum, seperti pembunuhan
menjadi sebab adanya hukuman qishash.
3. Perbuatan
yang ada secara material, dan baru bernilai syara apabila memenuhi rukun dan
syarat, seperti shalat dan haji.
4. Perbuatan
yang ada secara material dan diakui syara’,serta mengakibatkan munculnya hukum
syara yang lain, seperti nikah mengakibatkan halalnya hubungan seks, kewajiban nafkah.
BAB II
Mahkum Alaih
A. Pengertian Mahkum Alaih
Yang dibebani hukum/Subjek hukum.
a. Definisinya,”Seseorang yang
perbuatannya dikenai khitab (titah) Allah Swt”, yang disebut dengan
Mukallaf.
b. Mukallaf diartikan sebagai orang
yang dibebani hukum.Sedangkan dalam ushul fiqh mukallaf disebut juga
mahkum ‘alaih (Subjek hukum)
B. Mukallaf
adalah
orang yang dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan
perintah Allah maupun laranganNya
Dasar Taklif (Pembebanan
Hukum)
a.
Dasar
pembebaban hukum bagi seorang mukallaf adalah berakal dan pemahaman
b.
Seseorang
baru dibebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara
baik taklif yang ditujukan kepadanya. Sabda Nabi
Sabda Nabi
Muhammad Saw :
رفع أمتي عن الخطاء
والنسيان وما استكرهوا عليه
Artinya : Ummatku tidak dibebani hukum
apabila mereka terlupa, tersalah dan dalam
keadaan terpaksa (HR. Ibnu Majah dan Thabrani)
Kesimpulannya : Anak kecil,
orang gila, orang lupa, orang
terpaksa, orang tidur dan orang tersalah, tidak dikenai taklif (beban hukum)
C. Syarat-Syarat
Taklif
1. Orang tersebut
telah mampu memahami khitab /titah Allah Swt yang terkandung dalam Al-Quran dan
Sunnah, baik secara langsung maupun melalui orang lain. Maka, anak kecil, orang
gila,orang lupa, terpaksa, tidur, tidak dikenakan taklif
2. Seseorang harus
cakap bertindak hukum. Dalam istilah ushul fiqh disebut dengan ahliyah (kecakapan),
maka anak kecil dan orang gila dipandang belum cakap bertindak hukum. Demikian
juga orang pailit dan orang yang berada di bawah pengampuan (mahjur alaih),
dianggap tidak cakap bertindak hukum dalam masalah harta.
BAB III
Ahliyah
A. Pengertian Ahliyah
Suatu sifat yang dimiliki seseorang, yang dijadikan
ukuran oleh syari’ untuk menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan
syara.
·
Ahliyah
ada’ adalah ‘sifat kecakapan
bertindak hukum seseorang yang telah dianggap sempurna untuk
mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya’, baik
yang positif maupun negatif. Bila ia mengerjakan perintah syara’, maka ia
berpahala dan jika ia melaksanakan larangan, maka ia berdosa
·
Para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa
yang menjadi ukuran dalam menentukan seseorang telah memiliki ahliyatul
ada’ ialahaqil, baligh dan cerdas
·
Menurut Ulama Ushul, ukuran yang
digunakan dalam menentukanahliyatul wujub adalah sifat
kemanusiaannya yang tidak dibatasi oleh umur, baligh dan kecerdasan.
Sifat ini telah dimiliki seseorang semenjak lahir.
·
Berdasarkan ahliyatul wujub,
anak yang baru lahir berhak menerima wasiat dan menerima warisan, jika
muwarrisnya meninggal dunia Harta seorang anak yang belum baligh tak boleh dikelola
sendiri, tetapi oleh walinya
B. Ahliyah
al-Wujub al-Naqishah
Yaitu anak
yang masih berada dalam kandungan ibunya (janin). Janin sudah dianggap memiliki
ahliyatul wujub, tetapi belum sempurna.Para ulama sepakat, ada 4 hak bagi janin:
1. Hak keturunan dari ayahnya
2. Hak warisan dari pewarisnya
yang wafat
3. Hak wasiat
4. Harta waqaf yang ditujukan kepadanya
C. Ahliyah al
Wujub al-Kamilah
Yaitu
kecakapan menerima hak bagi seorang anak yang telah lahir ke dunia sampai
baligh dan beraka. Seorang yang ahliyah wujub tidak dibebani tuntutan syara’,
baik yang bersifat ibadah mahdhah seperti shalat maupun tindakan muamalah,
seperti transaksi yang bersifat pemindahan hak milik . Namun, bila mereka
melakukan tindakan hukum yang merugikan/merusak harta orang lain, maka wajib
memberikan ganti dari hartanya. Pengadilan berhak memerintahkan walinya untuk
mengeluarkan ganti rugi, tetapi ; Apabila tindakannya berkaitan dengan
perusakan fisik (seperti melukai), maka tindakan hukum anak yang ahliyah
wujub kamilah tersebut, tidak bisa dipertangung jawabkan secara hukum
syara, (misalnya ia dihukum qishash), karena ia tidak dianggap cakap hukum
D. Awaridh
(Halangan) Ahliyah
Awaridh Ahliyah ada 2 (dua) yaitu :
1. Awaridh Samawiyah : yaitu halangan
ahliyah yang datangnya dari Allah, bukan karena perbuatan manusia, seperti
gila, dungu, lupa, dsb.
2. Awaridh al-muktasabah : yaitu halangan ahliyah yang
disebabkan perbuatan manusia, seperti mabuk, terpaksa, mahjur ‘alaih
(dibawah pengampuan)
Kedua bentuk halangan itu sangat
berpengaruh terhadap tindakan hukumya, yakni adakalanya menghilangkan ahliyah, mengurangi
atau mengubahnya.
Dalam hal ini halangan itu terdiri dari 3 bentuk :
1. Halangan yang menyebabkan hilangnya
kecapakan secara sempurna (ahliyt ada) sama sekali, seperti gila, tidur, lupa
dan terpaksa.
2. Halangan yang mengurangi ahliyah
ada, seperti orang dungu. Tindakannya harus dibatasi, karena ia tidak rusydi
dalam mengelola harta.
3. Halangan yang sifatnya dapat
mengubah tindakan hukum seseorang, seperti orang yang berhutang, pailit (di
bawah pegampuan). Awalnya iaahliyatul ada, tetapi karena pailit, maka
terjadi perubahan ahliyah pada dirinya, di mana ia tak cakap
lagi mengelola harta
BAB IV
Al-ahkaam Asy-syarr’iyyah
A. Pengertian Al-ahkaam
Asy-syarr’iyyah
Menurut Wahbah al-Zuhaili dan Abd al-Wahhab Khallaf,
dalil adalah sesuatu yang dijadikan landasan berpikir yang benar dalam
memperoleh hukum syara yang bersifat praktis. Berdasarkan penelitian dapat
dipastikan para jumhur ulama bersepakat menetapkan empat sumber dalil (al-Quran,
as-Sunnah, al-Ijma, dan al-Qiyas) sebagai dalil yang disepakati. Akan tetapi,
ada beberapa ulama yang tidak menyepakati dua sumber yang terakhir (Ijma dan
Qiyas). A. Hassan, guru Persatuan Islam, menganggap musykil terjadinya Ijma,
terutama setelah masa sahabat. Demikian juga Muhammad Hudhari Bek. Para ulama
dari kalangan madzhab Zhahiri (di antara tokohnya adalah Imam Daud dan Ibnu
Hazm al-Andalusi) dan para ulama Syiah dari kalangan Akhbari tidak mengakui
al-Qiyas sebagai dalil yang disepakati.
B. Definisi
Al-Qur’an
Dari segi bahasa Lafadz Al-Quran berasal dari lafadz
qira’ah, yaitu mashdar (infinitif) dari lafadz qara’a, qira’atan,
qur’anan. Dari aspek bahasa, lafadz ini memiliki arti “mengumpulkan dan
menghimpun huruf-huruf dan kata-kata satu dengan yang lain dalam suatu ucapan
yang tersusun rapih”. Sedangkan secara istilah al-Qur’an ialah kitab yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw yang ditulis dalam mushaf yang diriwayatkan
sampai kepada kita dengan jalan yang mutawatir, tanpa ada keraguan.
C. Bentuk metode
tafsir
Bentuk metode
tafsir ada 3 (tiga) yaitu :
1. Metode Tahlili : metode
menafsirkan Al-Qur’an yang berusaha menjelaskan Al-Qur’an dengan menguraikan
berbagai seginya dan menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh Al-Qur’an. Metode
ini adalah yang paling tua dan paling sering digunakan. Tafsir ini dilakukan
secara berurutan ayat demi ayat kemudian surat demi surat dari awal hingga
akhir sesuai dengan susunan Al-Qur’an
2. Metode Ijmali : Metode
ini adalah berusaha menafsirkan Al-Qur’an secara singkat dan global, dengan
menjelaskan makna yang dimaksud tiap kalimat dengan bahasa yang ringkas
sehingga mudah dipahami.
3. Metode Muqorin : Tafsir
al-Muqarim adalah penafsiran sekolompok ayat al-Qur’an yang berbicara dalam
suatu masalah dengan cara membandingkan antara ayat dengan ayat atau antaraa
ayat dengan hadis baik dari segi isi maupun redaksi atau antara
pendapat-pendapat para ulama tafsir dengan menonjolkan segi-segi perbedaan
tertentu dari obyek yang dibandingkan.
4. Metode Maudhi
(Tematik) : Metode ini
adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban Al-Qur’an dengan cara
mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai tujuan satu, yang bersama-sama
membahas topik/judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa turunnya
selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut
dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan
hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain kemudian mengambil hukum-hukum
darinya.
Pada masa
sahabat menggunakan beberapa pendekatan yang antara lain sebagai berikut:
1. Dengan pendekatan
Al-Qur’an itu sendiri
Bahwa dalam ayat yang masih bersifat global terdapat
penjelasannya pada ayat lain. Begitu juga ayat-ayat yang bersifat mutlak atau
masih umum, terdapat pada tempat lain ayat yang menjadi qayyid atau
mengkhusukannya.
2. Penafsiran di
kembalikan kepada Nabi
Hal ini dilakukan ketika terutama ketika para sahabat
Nabi mendapatkan kesulitan dalam memahami suatu ayat dari Al-qur’an.
3. Pemahaman dan
Ijtihad Sahabat Nabi
Hal ini di perlukan jika mereka tidak menemukan tafsiran
suatu ayat dalam kitabAllah dan juga tidak menemukannya dari penjelasan Nabi .
Diantara para sahabat Nabi yang mempunyai keistimewaan dalam menjelaskan nash
adalah Khulafa’al-rosyidun, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Umar,
A’isyah, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Anas bin Malik, Abu Musa al-
Asy’ari, Mu’az bin Jabal, Ubadah bin Shomad dan Abdullah bin Amru bin Ash .
D. Definisi
Al-Qur’an dan Hadits Qudsi
1. AL-QUR’AN
: Seperti yang kita ketahui bahwa Al-qur'an merupakan
mu'jizat yang diturunkan oleh ALLAH kepada nabi Muhummad SAW dengan perantara
malaikat jibril secara berangsur-angsur dan membacanya dianggap sebagai ibadah.
2. AL-HADITS :
hadits qudsi adalah perkataan-perkataan nabi dengan mengatakan "Allah
berfirman".sedangkan menurut ath-thibi, hadits qudsi marupakan titah tuhan
yang dismpaikan kepada nabi melalui mimpi'kemudian diterangkan oleh nabi dengan
bahasanya sendiri serta menyandarkannya kepada ALLAH. Oleh sebab itu hadits
qudsi disebut juga hadits illahi atau hadits robbany.
BAB V
AS - SUNNAH
A. Pengertian As-Sunnah
adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan
dan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum
dalam agama Islam.Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur'an,
Ijma dan Qiyas, dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum
kedua setelah Al-Qur'an.
B. Dalil-Dalil
Sunnah Sebagai Hujjah
Allah
Subhanaahu wa Ta`ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا
أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ
تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ
تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ
تَأْوِيلًا(59)
Artinya : “Hai orang-orang
yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur`an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (al-Nisaa’: 59)
Sabda Nabi Sholallohu `alaihi wa sallam dalam hadits Abu
Hurairah Rodiallohu `anhu yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:
Dari Abu Hurairah Rodiallohu `anhu , bawasanya Rasulullah
Sholallohu `alaihi wa sallam bersabda: “Semua umatku akan masuk surga kecuali
yang menolak.” Dikatakan: “Siapakah yang menolak ya Rasulullah?” Beliau
bersabda: “Barangsiapa taat (setia) kepadaku dia pasti msuk surga dan
barangsiapa mendurhakaiku maka berarti ia menolak.” HR. Bukhori : 6751
C. Jenis-Jenis
Sunnah
1. Qauliyah atau Perkataan Yang
dimaksud dgn perkataan Nabi Muhammad shalallahu'alaihiwasalam. ialah perkataan
yg pernah beliau ucapkan dalam berbagai bidang syariat akidah
akhlak pendidikan dan sebagainya.
2. Fi'liyah atau
Perbuatan Perbuatan Nabi Muhammad SAW.merupakan penjelasan praktis dari
peraturan-peraturan yg belum jelas cara pelaksanaannya.
3. Taqririyah Arti taqrir Nabi ialah
keadaan beliau mendiamkan tidak mengadakan sanggahan atau menyetujui apa yg
telah dilakukan atau diperkatakan oleh para sahabat di hadapan beliau.
D. Kedudukan
Sunnah Terhadap Al-Qur’an
Sunnah adalah sumber syariat kedua setelah al-Qur`an.
Tidak mungkin agama Allah ini bisa sempurna kecuali dengan mengambil sunnah
Nabi Sholallohu `alaihi wa sallam dan disandingkan bersama kitab suci Allah.
Oleh karena itu banyak ayat-ayat al-Qur`an dan hadits-hadits mutawatir yang
memerintahkan agar taat kepada Rasul Allah dan berpegang teguh dengan sunnah
dan menjadikannya sebagai hujjah (dalil, bukti). Dan umat Islampun telah
berijma’ atas hal ini.
Dalil –dalil
dari al-Qur`an:
Firman Allah:
فَلَا
وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ
لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Artinya : “Maka demi
Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu
hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa
keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka
menerima dengan sepenuhnya.” (al-Nisaa’: 65)
E. Definisi
Mutawatir dan Ahad
Secara
bahasa, mutawatir adalah isim fa’il dari at-tawatur yang
artinya berurutan. Sedangkan mutawatir menurut istilah adalah “apa
yang diriwayatkan oleh sejumlah banyak orang yang menurut kebiasaan mereka
terhindar dari melakukan dusta mulai dari awal hingga akhir sanad”. Atau :
“hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang banyak pada setiap tingkatan
sanadnya menurut akal tidak mungkin para perawi tersebut sepakat untuk berdusta
dan memalsukan hadits, dan mereka bersandarkan dalam meriwayatkan pada sesuatu
yang dapat diketahui dengan indera seperti pendengarannya dan semacamnya
contoh”.
Misalnya hadits (yang artinya) : “Barangsiapa yang sengaja berdusta
atas namaku (Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam) maka dia akan
mendapatkan tempat duduknya dari api neraka”. Hadits ini telah diriwayatkan
lebih dari 70 orang shahabat, dan diantara mereka termasuk 10 orang yang
dijamin masuk surga.
a. Syarat-Syaratnya.
1. Diriwayatkan
oleh jumlah yang banyak.
2. Jumlah
yang banyak ini berada pada semua tingkatan (thabaqat) sanad.
3. Menurut
kebiasaan tidak mungkin mereka bersekongkol / bersepakat untuk dusta.
4. Sandaran
hadits mereka dengan menggunakan indera seperti perkataan mereka :kami telah
mendengar, atau kami telah melihat, atau kami telah
menyentuh, atau yang seperti itu. Adapun jika sandaran mereka dengan
menggunakan akal, maka tidak dapat dikatakan sebagai hadits mutawatir
F. Jenis-jenis
Khobar Ahad
1) Hadits Masyhur
Masyhur menurut
bahasa adalah “nampak”. Sedangkan menurut istilah adalah hadits yang
diriwayatkan oleh 3 perawi atau lebih pada setiap thabaqah (tingkatan) dan
belum mencapai batas mutawatir.
2) Hadits ‘Aziz
Aziz artinya :
yang sedikit, yang gagah, atau yang kuat. “Aziz menurut istilah ilmu hadits adalah
: Suatu hadits yang diriwayatkan dengan minimal dua sanad yang berlainan
rawinya.
3) Hadits Gharib
Gharib secara
bahasa berarti yang jauh dari kerabatnya. Sedangkan hadits gharib secara
istilah adalah hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi secara
sendiri.
G. Hadist Ahad
Ahad menurut
bahasa mempunyai arti "satu". Dan khabarul-wahidadalah
khabar yang diriwayatkan oleh satu orang. Sedangkan Hadits Ahad menurut
istilah adalah "hadits yang belum memenuhi syarat-syarat
mutawatir".
v Kedudukan
Hadist Ahad Sebagai Hujjah
hadits ahad itu tidak dapat dijadikan pedoman dalam
akidah tetapi harus berdasarkan dalil yang qath’i yaitu ayat atau hadits
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.Pendapat ini ditolak, karena hadits
yang perawinya terpecaya dan sampai kepada kita dengan sanad shahih, maka wajib
diimani dan dibenarkan, baik itu berupa hadits ahad maupun mutawatir. Inilah
madzhab para ulama Salafus Shalih berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
:
“Dan tidak patut bagi laki-laki yang Mukmin dan
tidak (pula) bagi perempuan yang Mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah
menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang
urusan mereka.” (QS. Al Ahzab : 36)
H. Definisi Hadist
Sahih,Hasan dan Dha’if
v Hadist Shahih
Secara bahasa (etimologi), kata ﺢﻴﺤﺼﻟﺍ (sehat)
adalah antonim dari kata ﻢﻴﻘﺴﻟﺍ (sakit). Bila diungkapkan terhadap
badan, maka memiliki makna yang sebenarnya (haqiqi) tetapi bila diungkapkan di
dalam hadits dan pengertian-pengertian lainnya, maka maknanya hanya bersifat
kiasan (majaz).
Secara istilah (terminologi), maknanya adalah:
Hadits yang bersambung sanad (jalur transmisi) nya melalui periwayatan
seorang periwayat yang ‘adil, Dlâbith, dari periwayat semisalnya hingga ke
akhirnya (akhir jalur transmisi), dengan tanpa adanya syudzûdz (kejanggalan)
dan juga tanpa ‘illat (penyakit)
v Hadist hasan
yaitu yang sanadnya bersambung, yang diriwayatkan
oleh rawi yang adil, namun tingkat kedlobithannya kuarang dari hadits shahih,
tidak ada syudzudz dan illat.
v Hadist daif
ialah satu hadis yang tidak memenuhi salah satu dari
syarat-syarat hadis maqbul (diterima) yaitu HADIS SAHIH DAN HADIS HASAN.
BAB VI
IJMA’ DAN QIYAS
A. Pengertian Ijma’
·
Menurut bahasa : Adanya keinginan yang kuat untuk
melakukan sesuatu(العزم والتعميم على الشيء
·
Menurut
Istilah Yaitu kesepakatan seluruh mujtahid umat Islam pada masa setelah
wafatnya rasulullah: karena dalam kehidupan Rasul, dia adalah satu-satunya
sumber hukum islam, maka tidak terbayangkan perbedaan dalam hukum syari’at dan
tidak ada ittifaq. Karena itifaq tidak terwujud kecuali dari orang banyak.
B. Rukun-rukun
ijma’ (أركان الإجماع)
·
Harus ada beberapa orang mujtahid
dikala terjadinya peristiwa dan para mujtahid itulah yang melakukan kesepakatan
(menetapkan hukum peristiwa itu. Seandainya tidak ada beberapa orang mujtahid
di waktu terjadinya suatu peristiwa tentulah tidak akan terjadi ijma', karena
ijma' itu harus dilakukan oleh beberapa orang.Yang melakukan kesepakatan itu
hendaklah seluruh mujtahid yang ada dalam dunia Islam. Jika kesepakatan itu
hanya dilakukan oleh para mujtahid yang ada pada suatu negara saja, maka
kesepakatan yang demikian belum dapat dikatakan suatu ijma'.
·
Kesepakatan itu harus dinyatakan secara
tegas oleh setiap mujtahid bahwa ia sependapat dengan mujtahid-mujtahid yang
lain tentang hukum (syara') dari suatu peristiwa yang terjadi pada masa itu.
Jangan sekali-kali tersirat dalam kesepakatan itu unsur-unsur paksaan, atau
para mujtahid yang diharapkan kepada suatu keadaan, sehingga ia harus menerima
suatu keputusan. Kesepakatan itu dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti
dengan pernyataan lisan, dengan perbuatan atau dengan suatu sikap yang
menyatakan bahwa ia setuju atas suatu keputusan hukum yang telah disetujui oleh
para mujtahid yang lain. Tentu saja keputusan yang terbaik ialah keputusan
sebagai hasil suatu musyawarah yang dilakukan para mujtahid.
·
Kesepakatan itu hendaklah merupakan
kesepakatan yang bulat dari seluruh mujtahid. Seandainya terjadi suatu
kesepakatan oleh sebahagian besar mujtahid yang ada, maka keputusan yang
demikian belum pasti ke taraf ijma'. Ijma' yang demikian belum dapat dijadikan
sebagai hujjah syari'ah.
C. Kehujjahan
Ijma’(حجية الإجماع)
·
Apabila rukun ijma’ yang empat hal di
atas telah terpenuhi dengan menghitung seluruh permasalahan hukum pasca
wafatnya Nabi Saw dari seluruh mujtahid kaum muslimin walau dengan perbedaan
negeri, jenis dan kelompok mereka yang diketahui hukumnya. Perihal ini, nampak
setiap mujtahid mengemukakan pendapat hukumnya dengan jelas baik dengan
perkataan maupun perbuatan baik secara kolompok maupun individu.
·
Selanjutnya mereka mensepakati masalah
hukum tersebut, kemudian hukum itu disepakati menjadi aturan syar’i yang wajib
diikuti dan tidak mungkin menghindarinya. Lebih lanjut, para mujtahid tidak
boleh menjadikan hukum masalah ini (yang sudah disepakati) garapan ijtihad,
karena hukumnya sudah ditetapkan secara ijma’ dengan hukum syar’i yang qath’i
dan tidak dapat dihapus (dinasakh).
D. Macam-macam
ijma’(أنواع الإجماع)
·
Ijma’ sharih(الإجماع
الصريح), di mana setiap
mujtahid menyatakan bahwa mereka menerima pendapat yang disepakati tersebut.
Ijma’ sharih inilah yang disepakati oleh jumhur fuqaha sebagai hujjah.
·
Ijma’
sukuti(الإجماع السكوتى), yaitu suatu pendapat yang
dikemukakan oleh seorang mujtahid, kemudian pendapat tersebut telah diketahui
oleh para mujtahid yang masih hidup semasa dengan mujtahid di atas, akan tetapi
tidak ada seorang pun yang mengingkarinya.
E. Pengertian
Qiyas
·
Menurut Bahasa : Ukuran, yaitu mengenal
ukuran sesuatu (هو التقدير , أي معرفة قدر الشيء)
·
Menurut Istilah : Menghubungkan perkara yang tidak
disebutkan hukumnya dalam nash, dengan perkara yang disebutkan
hukumnya dalam nash, disebabkan kesamaan illat hukum antara keduanya. (هو إلحاق أمر
غير منصوص على حكمه الشرعي بأمر منصوص على حكمه)
F. Rukun-rukun
Qias (أركان القياس)
·
الأصل : Sesuatu yang telah ditetapkan
hukumnya dalam nash, contohnya daging babi.
·
حكم الأصل : Hukum syar’i yang terdapat dalam
dalam nash dalam hukum asalnya. Contohnya keharaman pada memakan babi
·
الفرع : Sesuatu yang akan ditentukan
hukumnya karena tidak ada dalam nash. Contohnya lemak babi.
·
العلة : Sifat yang didasarkan atas hukum
asal atau dasar qiyas yang dibangun atasnya. Contohnya,
daging babi motifnya memudharatkan
E. Kehujjahan
Qias
Jumhur ulama kaum muslimin sepakat bahwa qiyas merupakan
hujjah syar’i dan termasuk sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang
lain. Apabila tidak terdapat hukum dalam suatu masalah baik dengan nash ataupun
ijma’ dan yang kemudian ditetapkan hukumnya dengan cara analogi dengan
persamaan illat maka berlakulah hukum qiyas dan selanjutnya menjadi hukum
syar’i. Sedangkan Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, mereka sama sekali
tidak menggunakan qiyas. Mazhab Zhahiri tidak mengakui adalanya illat nash dan
tidak berusaha mengetahui sasaran dan tujuan nash termasuk menyingkap alasannya
guna menetapkan suatu kepastian hukum yang sesuai dengan illat. Sebaliknya,
mereka menetapkan hukum hanya dari teks nash semata.
·
Dalil-dalil yang menyatakan qias
sebagai hujjah
1. “Dia-lah yang
mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari kampung-kampung mereka
pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan
keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan
mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari
arah yang tidak mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam
hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri
dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi
pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan. (Qs.59:2)
2. Dari ayat di
atas bahwasanya Allah Swt memerintahkan kepada kita untuk ‘mengambil
pelajaran’, kata I’tibar di sini berarti melewati, melampaui, memindahkan
sesuatu kepada yang lainnya. Demikian pula arti qiyas yaitu melampaui suatu
hukum dari pokok kepada cabang maka menjadi (hukum) yang diperintahkan. Hal yang
diperintahkan ini mesti diamalkan. Karena dua kata tadi ‘i’tibar dan qiyas’
memiliki pengertian melewati dan melampaui.
3. Sementara
diantara dalil sunnah mengenai qiyas ini berdasar pada hadits Muadz ibn Jabal,
yakni ketetapan hukum yang dilakukan oleh Muadz ketika ditanya oleh Rasulullah
Saw, diantaranya ijtihad yang mencakup di dalamnya qiyas, karena qiyas
merupakan salah satu macam ijtihad.
4. Sedangkan dalil
yang ketiga mengenai qiyas adalah ijma’. Bahwasanya para shahabat Nabi Saw
sering kali mengungkapkan kata ‘qiyas’. Qiyas ini diamalkan tanpa seorang
shahabat pun yang mengingkarinya. Di samping itu, perbuatan mereka secara ijma’
menunjukkan bahwa qiyas merupakan hujjah dan waji b diamalkan.
BAB VII
ISTIHSAN
A. Pengertian
Istihsan
Secara Etimologi Istihsan berarti,
“ “Menyatakan dan meyakini baik sesuatu”.
Ulama sepakat tentang pengertian
istihsan, karena lapaz istihsan banyak terdapat dalam Al-Quran dan Hadits Az-Zumar : (39) ayat 18
الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ
فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ
Artinya : Orang
yang mendengarkan perkataan,lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya.
B. Pengertian
Istihsan Menurut Imam Hanafi Ada 2 (dua)
Ø Al-Bazdawii
(Hanafi) : Istihsan “Berpaling dari kehendak qiyas kepada Qiyas yang lebih
kuat atau pengkhususan qiyas Berdasarkan dalil yang lebih kuat”
Ø As-Sarakhsy
(Hanafi) : Istihsan ialah meninggalkan qiyas dan mengamalkanYang lebih
kuat, karena adanya dalil yang menghendaki Serta lebih sesuai dengan
kemaslahatan ummat.
C. Pengertian
Istihsan Menurut Imam yg 4 (empat)
Ø Al-Ghazali
(Syaf’iy) : Istihsan ialah Semua hal yang dianggap baik oleh mujtahid
menurut akalnya
Ø Ibnu
Qudamahi (Hanbali) : Istihsan ialah suatu keadilan terhadap hukum Karena adanya
dalil tertentu dari Al-Quran dan Sunnah
Ø Asy-Syatibi
(Maliki) : Istihsan ialah pengambilan suatu kemaslahatan Yang bersifat
juz’iy dalam menanggapi dalil Yang bersifat global.
Ø Al-Karkhi
(Hanafi) : Perbuatan
adil terhadap suatu permasalahan hukum dengan memandang hukum
yang lain, karena adanya sesuatu yang lebih kuat yang membutuhkan keadilan
BAB VIII
AL – QUR’AN
A. Pengertian Al –
qur’an
Secara
etimologis, Al-Quran adalah bentuk masdar dari qa-ra-a.((قرأ
Ada 2 pengertian
Al-Quran Secara etimologi
Ø Bacaan (قرأن)
Ø Apa yang tertulis ((مقروء
B. Ciri-Ciri Al-Quran
1. Al-Quran merupakan kalam Allah yang
diturunkan kpd Nabi Muhmmad
2. Al-Quran diturunkan dalam bahasa
Arab
3. Periwayatan Al-quran kepada beberapa
generasi secara mutawatir
4. Dijamin kemurniannya (Al-Hijr : 9)
5. Membacanya dinilai ibadah
(berpahala)
6. Dimulai dari Surah Al-Fatihah dan
diakhiri dengan surah An-Nas
C. Kehujjahan Al-quran
Para
ulama ushul fiqh sepakat bahwa Al-Quran merupakan sumber utama hukum Islam dan
wajib diamalkan. Para mujtahid tidak dibenarkan menjadikan dalil
lain sebagai hujjah sebelum membahas dan meneliti ayat-ayat Al-Quran. Jika
tidak ditemukan dalam Al-Quran barulah dibenarkan mencari dalil yang lain.
D. Hukum-Hukum yang dikandung Al-Quran
1. Hukum-hukum I’tiqad, yaitu hukum
yang mengandung kewajiban para mukalaf untuk mempercayai Allah, malaikat,
rasul, Kitab dan Hari Kiamat.
2. Hukum yang berkaitan dengan akhlak.
3. Hukum-hukum (amaliyah) praktis yang
berkaitan dengan Allah (ibadah) dan antara sesama manusia (muamalah)
BAB IX
SYAR’U MAN QABLANA
A. Pengertian Syar’u
Man Qablana
Syar ‘u man
qablana ialah syari ‘at atau
ajaran agama yang diturunkan Allah kepada umat sebelum
kita, seperti ajaran agama Nabi Musa, Isa, Ibrahim, dan lain-lain.
Pembagian
syar’u Man Qablana dan contohnya :
1. Ajaran agama yang telah
dihapuskan oleh syariat kita (diNASAKH) Contoh : Pada syari’at nabi Musa As.
Pakaian yang terkena najis tidak suci. Kecuali dipotong apa yang kena najis itu.
2. Ajaran yang ditetapkan oleh
syariat kita. Contoh : Perintah menjalankan puasa.
3. Ajaran yang tidak ditetapkan
oleh Syari’at kita.yang diberitakan kepada kita baik melalui al-Qur’an atau as-Sunnah,
tetapi tidak tegas diwajibkan kepada kita sebagaimana diwajibkan kepada umat
sebelum kita
B. Dalil dalil hujjahnya :
Juhmuru
al-Hanafiyah, Malikiyah dan sebagian kalangan Syafi’iyah mengatakan bahwa
hukum-hukum syariat umat sebelum kita bila soheh maka menjadi syariat
bagi kita, tapi tinjauannya tetap melalui Wahyu dari Rasul bukan
kitab-kitab mereka.
Asya’irah
Mu’tazilah, Si’ah dan yang Rajih dari kalangan Syafi’ie
mengatakan bahwa syariat umat sebelumnya apabila tidak ditegaskan oleh syariat
kita, maka tidak termasuk syariat kita. Pendapat mereka ini diambil juga
oleh al-Ghazali, al-Amudi, al-Razi, Ibnu
Hazm dan kebanyakan para ulama’.
Ada empat dalil yang dibuat tendensi mereka, para ulama’
yang menganggap bahwa syariat umat sebelum kita adalah syariat kita :[6]
al-Nahl, ayat, 123 : Kami wahyukan kepadamu (Muhammad):
"Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif." dan bukanlah dia
termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. dan surat
al-Syura, ayat, 13 , Disebutkan juga bahwa Ibnu Abbas
pernah melakukanSujud Tilawah ketika membaca salah satu ayat
al-Quran dalam surat shod(ص) ayat 24
Syariat umat sebelum kita adalah syariat Allah yang tidak
ditegaskan kalausanya telah dinasakh, karena itu kita dituntut
mengikutinya serta mengamalkan berdasarkan firman Allah dalam surat al-An’am, ayat,
90 : Mereka
itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah
petunjuk mereka. Katakanlah: "Aku tidak meminta upah kepadamu dalam
menyampaikan (Al Qur'an)". Al Qur'an itu tidak lain hanyalah peringatan
untuk segala umat.,
BAB X
MASLAHAH MURSALAH
A. Pengertian
Maslahah Mursalah
Maslahah
adalah bentuk masdar dari Ash-sholah,yang artinya “adanya manfaat”
Maslahah adalah bentuk tunggal
(singular) dari kata “al-masholih”Maslahah sering juga
disebut “Istishlah”
Salah
satu metode yang digunakan ulama ushul fiqh dalam mengistimbath hukum Islam
adalah maslahah mursalah
Maslahah
Mursalah ialah suatu kemaslahatan yang tidak ada dalil yang menyuruhnya dan
tidak ada dalil yang menolaknya, tetapi ia mengandung kebajikan/manfaat
Maslahah ada 3 (tiga)
yaitu :
1. Maslahah
Mu’tabarah : Ada
dalil tafshili yang mendukung / menyuruhnya, Seperti
shalat, zakat dll, Syariat qishash, Nikah,
bersedeqah, Tolong-menolong Dalam ketaqwaan
2. Maslahah
Mulghah : Ada
dalil tafshili yang menolak / melarangnya, Seperti riba(2:275)
suap (2:180), Minum khamar (5:90) Makan bangkai (5;3) Berkata
“ah” pada Orang tua (17:23)
3. Maslahah
Mursalah : Tidak
ada dalil Tafshili yang menyuruh atau menolaknyaSeperti membuat penjara,membuat
bank syari’ah&LKS, Mendirikan RS, Media massa Islam TV Islam
B. Definisi Maslahah menurut Al-Ghazali
Mengambil
manfaat dan Menolak Kemudratan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan
syara’. Tujuan syara’ tersebut adalah memelihara lima pokok
kehidupan, yaitu memelihara :
1. Agama
2. Jiwa
3. Akal
4. Keturunan dan
5. Harta
C. Objek Maslahah Mursalah
v Objek Maslahah Mursalah ialah
masalah hukum yang tidak terdapat dalam nash Al-Quran, Sunnah maupun ijma’ dan
qiyas
v Masalah ibadah tidak termasuk objek
maslahah mursalah. Demikian pula segala sesuatu yang telah dijelaskan nash
secara khusus.
D. Tujuan Maslahah
Mursalah
Tujuan utama al Maslahah al Mursalah adalah kemaslahatan;
yakni memelihara dari kemudlaratan dan menjaga kemanfaatannya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar